Sebuah Kemunduran Komunikasi: Saat Pesan Luhur Dirusak oleh Metode yang Usang
Sajiman Cokrowinarto
9/14/20252 min read
Sebagai seseorang yang telah mengamati dinamika komunikasi negara selama beberapa dekade, saya selalu mencoba untuk memahami setiap kebijakan dari niat baik yang melandasinya. Saya pun yakin, iklan pemerintah yang saat ini ramai diperbincangkan di bioskop lahir dari sebuah niat yang pada dasarnya luhur: sebuah upaya untuk mengkomunikasikan visi dan pencapaian pembangunan bangsa kepada masyarakat luas, khususnya generasi muda. Tugas negara memanglah untuk membangun optimisme dan wawasan kebangsaan.
Namun, niat baik yang tidak dieksekusi dengan kebijaksanaan seringkali justru menghasilkan dampak yang sebaliknya. Dan dengan berat hati, saya harus mengatakan bahwa metode yang dipilih kali ini adalah sebuah kesalahan komunikasi strategis, dan yang lebih mengkhawatirkan, sebuah kemunduran dari apa yang pernah kita lakukan di masa lalu.
Saya teringat pada era Orde Baru. Saat itu, pemerintah juga sangat sadar akan kekuatan film sebagai alat komunikasi pembangunan. Namun, pendekatannya jauh lebih subtil dan terintegrasi. Pesan-pesan tentang keluarga berencana, semangat transmigrasi, atau heroisme perjuangan bangsa tidak ditampilkan sebagai iklan yang terpisah dan memaksa. Pesan-pesan itu ditenun ke dalam narasi cerita itu sendiri, melalui film-film yang didukung oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Ada sebuah kepercayaan pada kekuatan cerita untuk menyampaikan pesan secara organik, sebuah kepercayaan pada kecerdasan audiens untuk menangkapnya.
Apa yang kita saksikan hari ini adalah sebuah kemunduran dari strategi tersebut. Ini adalah metode yang kasar, terang-terangan, dan seolah tidak lagi percaya pada kekuatan narasi. Ini seperti seorang guru yang kehilangan kesabaran. Jika dahulu sang guru bisa menyelipkan pelajaran moral di dalam sebuah cerita pengantar tidur yang menarik, sekarang sang guru ini tampaknya sudah putus asa dan memilih untuk berteriak di depan kelas, memaksa para muridnya untuk menghafal rumus tanpa pemahaman.
Metode "berteriak" ini gagal total karena ia tidak lagi memahami audiensnya. Generasi masa kini, yang ruang diskusinya begitu terbuka di dunia maya, memiliki sebuah kemewahan yang tidak ada di masa lalu: kebebasan untuk mencemooh atau "boo-ing" secara massal. Berteriak kepada audiens yang tangannya sudah siap untuk menekan tombol skip atau menuliskan cemoohan di media sosial adalah sebuah strategi yang sudah pasti kalah sebelum dimulai.
Maka dari itu, saya ingin menyerukan sebuah evaluasi. Mari kita kembali ke metode komunikasi pembangunan yang lebih elegan dan partisipatif. Alih-alih iklan satu arah yang menginterupsi, mengapa tidak mendanai lebih banyak produksi film pendek inspiratif dari para sineas muda? Mengapa tidak mengadakan dialog yang lebih intensif dengan para penulis skenario untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan secara lebih subtil dan cerdas?
Jangan sampai pesan-pesan luhur tentang "Indonesia Emas 2045" dan masa depan bangsa kita yang cerah menjadi bahan cemoohan. Jangan sampai niat baik negara untuk berkomunikasi dirusak oleh kemasan yang usang dan metode yang tidak lagi sesuai dengan zaman. Ini adalah sebuah pemborosan sumber daya komunikasi yang harus segera kita perbaiki bersama.