Barista in-Residence, In--Betweener sinemalateee

Ada beberapa pagi di mana kedai saya berfungsi kurang sebagai kafe dan lebih sebagai ruang sidang tidak resmi bagi perkumpulan yang menamakan dirinya "The Indonesian Regale". Sebuah nama yang lahir dari kesalahpahaman yang disengaja antara martabat nasional, satire pascakolonial, dan sebuah lelucon berbahasa Jawa yang mungkin sebaiknya tidak saya ulangi. Pagi ini, tampaknya mereka sedang mengadakan pertemuan darurat, dan saya, seperti biasa, adalah barista sekaligus notulennya.

Pemicu pertemuan mereka terpampang jelas di papan tulis menu saya, sebuah agenda yang saya beri judul: Sup Horor Kanibal. Tiga mangkuk sup dengan resep yang hampir sama—satu bernama Sukma, satu lagi Gereja Setan, dan yang terakhir Lintrik—disajikan serentak di hari yang sama. Sebuah pertumpahan darah terjadwal yang memicu gosip di seluruh penjuru industri. Ada yang berbisik ini adalah gejala dari jumlah layar yang terbatas; yang lain menyebutnya sebagai bukti bahwa para koki kita sudah kehabisan ide. Di tengah kekacauan menu utama ini, hidangan pendampingnya pun tak kalah membingungkan: ada kabar tentang studio film "bahagia" yang justru paling profitabel, dan brosur-brosur mengkilap tentang diplomasi budaya di Cannes dan Prancis. Semuanya terasa mendesak, dan semuanya siap untuk diperdebatkan.

SAJIMAN: (Meletakkan koran di atas meja dengan gestur yang rapi namun tegas. Ia menatap kosong ke arah papan menu, tetapi jelas pikirannya berada di tempat lain.) "Saya sungguh tidak habis pikir. Ini bukan lagi soal persaingan sehat. Ini adalah sebuah pemborosan potensi nasional yang disengaja. Negara, melalui berbagai lembaganya, telah berupaya keras membangun sebuah 'jalan tol budaya'—menfasilitasi kehadiran kita di Cannes, menjajaki kolaborasi dengan Prancis, menyediakan Dana Indonesiana. Namun, para pelaku industrinya justru memilih untuk saling tabrak dalam kemacetan parah di sebuah jalan tikus yang sempit, hanya karena jalan itu sudah ramai. Di mana letak wawasan kebangsaan? Di mana rasa tanggung jawab untuk mengisi jalan tol yang sudah susah payah kita bangun bersama?"

(JDP - Catatan Kaki: Pagi itu, Pak Sajiman sedang dalam mode Arsitek Nasional-nya. Setiap kalimatnya terdengar seperti sedang dibacakan dari podium, meskipun audiensnya hanya secangkir kopi yang mulai mendingin.)

JUAN: (Baru saja tiba, meletakkan tas laptopnya dengan suara yang cukup keras untuk menginterupsi perenungan Sajiman. Ia langsung menuju konter.) "Jalan tol budaya, Pak Sajiman? Dengan segala hormat, sebelum kita bicara soal muatan truk apa yang paling 'nasionalis' untuk lewat di atasnya, mungkin kita harus pastikan dulu jalan tolnya tidak longsor dan tidak ada preman yang merampok setiap kendaraan yang lewat."

(JDP - Catatan Kaki: Dan sang Mekanik pun tiba. Jika Sajiman melihat dunia sebagai sebuah cetak biru, Juan melihatnya sebagai sebuah mesin yang selalu di ambang kerusakan.)

JUAN: (Berbalik dari konter, menatap langsung ke arah Sajiman) "Masalah kita bukan pada 'tanggung jawab' pembalap. Masalahnya ada pada sirkuitnya yang rusak parah. Data jelas: jumlah layar kita terbatas, menciptakan kelangkaan artifisial yang memaksa semua orang berebut. Dan pipa utamanya bocor parah karena pembajakan yang tidak pernah dianggap serius. Ini bukan kegagalan moral; ini adalah kegagalan manajemen infrastruktur dan manajemen risiko. Titik."

SALMAN: (Dari sudut mejanya yang gelap, ia menutup buku yang sedang dibacanya dengan suara pelan namun tegas, yang entah bagaimana berhasil menarik perhatian semua orang. Ia tidak menatap Sajiman atau Juan, melainkan menatap ke luar jendela, seolah sedang berbicara pada kehampaan.)

"Sebuah perdebatan yang indah. Sang Arsitek ingin memperbaiki moral para pembalap, sementara sang Mekanik ingin menambal aspal sirkuit. Keduanya begitu tulus, begitu serius. Dan keduanya sama-sama buta."

(JDP - Catatan Kaki: Dan inilah dia. Momen ketika Mas Salman memutuskan untuk menuangkan bensin ke dalam perdebatan yang sudah panas, bukan untuk memadamkannya, tetapi untuk melihatnya terbakar lebih terang.)

SALMAN: (Ia akhirnya menoleh, matanya tajam menatap Juan, lalu Sajiman.) "Sirkuitnya tidak 'rusak', Juan. Ia sengaja dirancang untuk membuat kalian semua tergelincir. Kelangkaan layar itu adalah sebuah mekanisme kontrol. Kanibalisme horor ini bukanlah 'kegagalan manajemen'; ia adalah sebuah ritual pengorbanan yang berfungsi untuk menegaskan kembali hegemoni horor sebagai candu yang paling efektif. Dan pembajakan itu bukanlah 'pipa yang bocor'; ia adalah mekanisme distribusi sekunder yang dibiarkan, untuk memastikan candu itu sampai kepada mereka yang tidak mampu membeli tiket. Kalian berdua sibuk berdebat cara mengecat ulang rumah jagal ini, sementara sapinya terus digiring masuk untuk disembelih setiap hari Kamis."

(JDP - Catatan Kaki: Keheningan singkat menyelimuti kedai setelah monolog Salman. Sajiman tampak ingin membantah tetapi kehabisan kata-kata kenegaraan. Juan tampak sedang menghitung ROI dari sebuah rumah jagal. Keduanya membeku, terperangkap dalam jaring laba-laba argumen Salman. Dan di momen itulah, tentu saja, pintu kedai terbuka.)

GREGG: (Masuk dengan earphone terpasang, sama sekali tidak menyadari suasana tegang. Ia langsung menuju konter, menunjukkan layar ponselnya pada saya.)

"Jamdek, liat deh. Gila, kan? Orang ini dapet seratus juta cuma dari pura-pura jadi NPC di live TikTok. Seratus. Juta. Gue salah milih jurusan kayaknya."

(JDP - Catatan Kaki: Dan begitu saja, seluruh bobot filsafat pasca-strukturalis di ruangan ini menguap, digantikan oleh realitas ekonomi kreator yang absurd.)

SALMAN: (Menatap Gregg dengan campuran antara geli dan putus asa.) "Itu... Gregg... adalah contoh sempurna dari apa yang baru saja saya bicarakan. Sebuah tontonan kosong yang berfungsi sebagai distraksi..."

GREGG: (Melepas satu earphone-nya, menatap Salman dengan bingung.) "Hah? Distraksi? Ini masa depan, Om. Kenapa gue harus bayar 50 ribu buat nonton kuntilanak di bioskop kalo gue bisa nonton orang dapet duit dari diem aja, gratis? It's better content."

JUAN: (Tiba-tiba tertarik, otaknya yang pragmatis berputar.) "Tunggu. Berapa engagement rate-nya? Monetisasinya lewat gift virtual?"

SAJIMAN: (Menghela napas panjang, memijat pelipisnya.) "Ya Tuhan..."

(JDP - Catatan Kaki: Dan di sanalah mereka. Empat sudut dari 'The Indonesian Regale', semuanya menatap artefak yang sama—video seseorang yang pura-pura menjadi NPC di ponsel Gregg—tetapi melihat empat alam semesta yang berbeda.)

SAJIMAN: (Menggelengkan kepalanya perlahan, suaranya terdengar lebih seperti seorang ayah yang kecewa daripada seorang teknokrat.)

"Ini bukan 'konten', anak muda. Ini adalah gejala. Gejala dari sebuah masyarakat yang telah kehilangan kemampuannya untuk mengapresiasi narasi yang terstruktur, yang memiliki bobot, yang membangun karakter. Ketika jerih payah seorang sutradara selama dua tahun dihargai lebih rendah daripada seseorang yang tidak melakukan apa-apa di depan kamera... ini adalah sebuah kegagalan pendidikan nasional."

JUAN: (Mengabaikan sepenuhnya argumen Sajiman, ia justru mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke ponsel Gregg. Matanya berbinar, bukan karena hiburan, tapi karena data.) "Jangan diremehkan, Pak. Ini adalah model bisnis yang jenius. Overhead cost nol, engagement tinggi, dan monetisasi langsung dari audiens tanpa perantara. Ini bukan tandingan film, ini adalah disrupsi terhadap seluruh rantai pasokan hiburan. Kalau kita bisa mengadaptasi model gamifikasi dan interaktivitas real-time ini ke dalam strategi pemasaran film, kita bisa memotong biaya P&A hingga 70%."

SALMAN: (Tersenyum untuk pertama kalinya pagi itu, senyum yang dingin dan penuh kemenangan.) "Kalian berdua masih saja mencoba menganalisisnya. Sajiman ingin 'mendidiknya', Juan ingin 'memonetisasinya'. Kalian tidak mengerti. Fenomena NPC ini bukanlah sesuatu yang bisa dianalisis atau dieksploitasi. Ia adalah akhir dari analisis. Ia adalah momen di mana produksi makna berhenti. Ia adalah perayaan kemenangan mutlak dari simulakrum atas realitas. Ia adalah bukti bahwa argumen saya benar: sistem ini tidak sedang menuju keruntuhan, ia sudah runtuh dan kita sekarang hanya sedang menari di atas puing-puingnya yang gemerlapan."

(JDP - Catatan Kaki: Dan begitulah. Satu video TikTok telah berhasil memicu sebuah khotbah, sebuah proposal bisnis, dan sebuah proklamasi kiamat budaya dalam waktu kurang dari dua menit. Sungguh sebuah pagi yang produktif.)

(JDP - Catatan Kaki: Di tengah keheningan yang ditinggalkan oleh khotbah Sajiman dan proklamasi Salman, hanya ada satu orang di ruangan ini yang tidak melihat krisis, melainkan melihat peluang. Bung Juan, yang sejak tadi mencatat sesuatu di ponselnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, dingin, dan penuh dengan kepastian seorang akuntan yang baru saja menemukan cara untuk mengubah kerugian menjadi keuntungan.)

JUAN: "Baik. Saya rasa sudah cukup jelas. Kita bisa menghabiskan sepanjang hari meratapi 'kegagalan pendidikan' atau merayakan 'kemenangan simulakrum'. Itu semua sangat menarik, tetapi tidak membayar tagihan. Izinkan saya merangkum pertemuan ini menjadi tiga poin aksi yang bisa dieksekusi." "Pertama, 'Kanibalisme Horor' yang kita saksikan hari ini adalah gejala dari manajemen aset yang buruk. Solusinya bukan dengan ceramah moral, tetapi dengan data terpusat. Kita butuh sebuah platform industri yang transparan untuk melacak jadwal rilis dan mencegah bentrokan yang tidak perlu. Ini masalah logistik, bukan moralitas."

"Kedua, 'Fenomena NPC' yang ditunjukkan Gregg tadi bukanlah ancaman, melainkan sebuah riset pasar gratis. Ia membuktikan adanya permintaan pasar yang masif untuk konten interaktif dengan monetisasi mikro. Daripada melawannya, kita harus mengintegrasikannya. Bayangkan sebuah campaign marketing di mana penonton bisa mengirim 'gift' virtual untuk menentukan nasib minor karakter dalam film yang akan datang. Kita sedang duduk di atas tambang emas data perilaku konsumen."

"Ketiga, dan yang paling penting. Semua ini—film horor, konten NPC, film Oscar—bukanlah musuh satu sama lain. Mereka adalah produk yang berbeda untuk segmen pasar yang berbeda. Tugas kita bukanlah memilih mana yang 'benar', tetapi membangun sebuah mesin portofolio yang efisien, yang bisa memproduksi horor murah untuk cash flow, berinvestasi pada konten digital eksperimental untuk riset, dan sesekali mendanai proyek 'Oscar-bait' sebagai investasi branding jangka panjang. Semuanya adalah angka. Semuanya harus profit."

(JDP - Catatan Kaki: Dan begitulah. Seluruh kegelisahan eksistensial pagi itu telah berhasil ia sulap menjadi sebuah presentasi PowerPoint tiga slide.)

(JDP - Catatan Kaki: Juan menyelesaikan presentasinya. Tidak ada yang bertepuk tangan. Yang ada hanyalah keheningan dari tiga dunia yang berbeda, masing-masing merespons efisiensi brutal dari logika pasar dengan caranya sendiri.)

SAJIMAN: (Menghela napas panjang, ia merapikan kembali korannya seolah-olah percakapan ini tidak pernah terjadi. Ia bangkit dari kursinya.) "Saya rasa... saya perlu udara segar." (Ia berjalan keluar dari kedai, meninggalkan secangkir kopi yang belum habis, seperti seorang jenderal yang memilih mundur secara terhormat dari pertempuran yang sudah tidak bisa ia pahami lagi.)

SALMAN: (Tidak bangkit. Ia justru tertawa pelan, tawa yang kering tanpa kegembiraan.) "Luar biasa," bisiknya pada dirinya sendiri. "Bahkan pemberontakan pun bisa ia ubah menjadi sebuah item dalam laporan keuangan. Anda menang, Bung Juan. Bukan karena argumen Anda lebih baik, tetapi karena dunia tempat kita hidup memang dibangun sesuai cetak biru Anda." (Ia kembali membuka bukunya, menyerah pada dunia, tetapi tidak pada teorinya.)

GREGG: (Mendongak dari ponselnya, menatap Juan dengan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara kagum dan ngeri.) "Jadi... intinya, lo mau bikin film yang kayak game, gitu?" (Ia berhenti sejenak, lalu mengangkat bahu.) "Terserah, deh. Yang penting charger-nya dulu, ada yang punya nggak?"

(JDP - Catatan Kaki: Dan begitulah akhirnya. Satu orang memilih untuk keluar, satu orang memilih untuk kembali ke dalam buku, dan satu orang kembali ke dalam kebutuhan paling mendesak di abad ke-21. Mungkin, pada akhirnya, itulah tiga respons yang tersisa bagi kita semua. Dan saya? Saya hanya perlu membersihkan meja.)

Catatan dari Pertemuan Darurat 'The Indonesian Regale': Sup Kanibal, Tiga Resep Perbaikan, dan Sebuah Proposal Bisnis