Pengamat Senior Ketahanan Nasional
Pemandangan yang tersaji di hadapan kita pada hari ini, 11 September 2025, adalah sebuah paradoks yang memprihatinkan. Di satu sisi, kita menyaksikan sebuah industri yang begitu hidup, yang mampu merilis tiga film besar—Sukma, Gereja Setan, Lintrik—secara bersamaan. Namun di sisi lain, kita melihat sebuah gejala dari kurangnya wawasan kebangsaan: sebuah persaingan kanibalistik yang pada akhirnya hanya berujung pada pemborosan sumber daya budaya yang tragis. Ketika para sineas kita lebih sibuk saling mematikan di pasar domestik yang terbatas, kita harus bertanya: di mana letak tujuan besar kita sebagai sebuah bangsa?
Padahal, jika kita melihat lebih luas, negara sebagai pembina telah bekerja tanpa lelah untuk menyediakan fondasi dan infrastruktur karakter. Program seperti Dana Indonesiana bukanlah sekadar bantuan finansial; itu adalah investasi negara untuk memastikan tunas-tunas kreativitas bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Upaya diplomasi budaya, seperti memfasilitasi kehadiran film kita di Cannes atau menjajaki kolaborasi dengan Prancis, adalah ikhtiar untuk membangun "jalan tol budaya" agar aset-aset terbaik bangsa ini bisa dilihat dan dihargai oleh dunia. Negara telah menjalankan fungsinya.
Sayangnya, infrastruktur yang telah disiapkan ini seringkali belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pelaku industrinya. Realitas pasar, seperti yang kita lihat hari ini, menunjukkan bahwa banyak yang masih memilih jalan pintas: melayani selera pasar yang paling dasar dengan horor berbasis mitos atau sensasi sesaat. Alih-alih berlomba untuk mengisi jalan tol budaya yang telah dibangun, kita justru masih terjebak dalam kemacetan di jalan-jalan tikus persaingan domestik. Ini adalah sebuah kegagalan dalam menangkap sinyal kebangsaan yang lebih luhur.
Namun, di tengah keprihatinan ini, kita tidak boleh buta terhadap tunas-tunas harapan yang menunjukkan arah yang benar. Kita harus meneladani model pembangunan yang ditunjukkan oleh studio seperti Imajinari. Mereka telah membuktikan bahwa keberhasilan komersial tidak harus dicapai dengan mengorbankan nilai. Dengan fokus pada talenta dan kesejahteraan para pekerjanya, mereka berhasil menciptakan karya yang tidak hanya laku di pasar, tetapi juga memiliki kualitas dan pesan positif. Demikian pula upaya seorang Reza Servia untuk mengangkat ratusan bahasa kita ke panggung global melalui Netflix, atau keberhasilan film Sore menjadi duta bangsa di Malaysia; ini semua adalah contoh nyata sinema yang fungsional dan produktif.
Maka, kesimpulannya menjadi sangat jelas. Fondasi dari negara telah diletakkan. Contoh--contoh unggul dari para pelaku industri pun telah terbukti ada. Masalah utama kita kini terletak pada kesadaran dan kemauan untuk memikul tanggung jawab nasional. Panggilan ini ditujukan kepada para sineas, produser, dan seluruh pemangku kepentingan: marilah kita secara sadar memilih untuk menciptakan karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan budaya dan citra positif bangsa. Tantangan-tantangan seperti pembajakan digital yang mengancam hak kekayaan intelektual harus kita hadapi bersama, karena yang kita lindungi bukanlah sekadar produk, melainkan aset-aset karakter bangsa untuk generasi yang akan datang.