Media Industry Strategist

Setiap mekanik yang baik tahu bahwa masalah mesin seringkali bukan berasal dari komponennya, melainkan dari sistem pendukungnya: bahan bakar yang buruk, oli yang bocor, atau jalanan yang rusak. Industri film Indonesia saat ini adalah sebuah mesin dengan komponen-komponen yang luar biasa, namun dipaksa untuk beroperasi di atas sirkuit yang rusak parah. Data tidak pernah berbohong, dan data minggu ini menunjukkan sebuah diagnosis yang sangat jelas: masalah kita bukanlah kekurangan produk, melainkan inefisiensi brutal dalam alokasi aset dan manajemen risiko.

Mari kita mulai dengan premis utamanya. Data dari Hypeabis menunjukkan bahwa jumlah penonton kita tahun ini menurun dibandingkan tahun lalu, dan salah satu penyebab utamanya adalah "kanibalisme" akibat jumlah layar yang minim. Ini bukanlah sebuah "fenomena budaya"; ini adalah sebuah kegagalan logistik. Sebuah kesalahan alokasi sumber daya yang seharusnya membuat setiap investor berkeringat dingin.

Lihat saja studi kasus sempurna yang tersaji hari ini, 11 September. Tiga film dengan genre identik—Sukma, Gereja Setan, Lintrik—dilepas ke pasar pada hari yang sama. Ini bukan kompetisi, ini adalah sebuah pembakaran uang terjadwal. Bayangkan tiga pom bensin dengan merek yang sama dibangun di persimpangan yang sama pada hari yang sama. Mereka tidak menciptakan permintaan baru; mereka hanya memecah pasar yang sudah ada menjadi irisan-irisan yang tidak profitabel. Berapa pun biaya P&A (Prints and Advertising) yang telah dihabiskan masing-masing film, efektivitasnya langsung terbagi tiga. Ini adalah sebuah kesalahan pembukuan dasar yang menunjukkan betapa reaktif dan tidak terkoordinasinya manajemen jadwal rilis di industri kita.

Ironisnya, jika kita membedah produk-produk yang saling membunuh ini, beberapa di antaranya dibangun di atas model bisnis yang solid. Film seperti Perempuan Pembawa Sial yang mengangkat mitos Jawa atau Gereja Setan dari kisah nyata Mongol adalah contoh dari Model Bisnis #1: "Formula Lokal yang Terbukti". Para produsernya cerdas dalam mengidentifikasi ceruk pasar yang terbukti memiliki permintaan tinggi: horor yang berakar pada kearifan lokal atau pengalaman personal yang viral. Produknya sendiri memiliki product-market fit yang baik. Masalahnya, produk yang bagus ini dipaksa masuk ke dalam sistem distribusi yang kacau.

Di luar arena horor, kita melihat model lain yang jauh lebih efisien. Lihatlah studi kasus Imajinari milik Ernest Prakasa. Ini adalah Model Bisnis #2: "Studio Ramping yang Digerakkan Talenta". Dengan hanya dua film per tahun, fokus pada "creator-driven", dan menjaga biaya operasional tetap rendah, Imajinari secara konsisten menghasilkan produk dengan ROI yang sangat tinggi. Mereka berhasil menaklukkan dua pasar sekaligus: pasar komersial massal (Agak Laen) dan pasar penghargaan (Falling In Love Like In Movies). Ini adalah contoh sempurna dari sebuah mesin yang kecil, presisi, dan sangat efisien, yang tidak membuang-buang bahan bakar untuk proyek yang tidak jelas.

Kemudian ada lintasan ketiga yang sedang dibangun oleh pemain seperti Reza Servia untuk Netflix atau para produser yang menjajaki kolaborasi dengan Prancis. Ini adalah Model Bisnis #3: "IP yang Siap Global". Model ini menuntut investasi awal yang lebih tinggi untuk mencapai standar produksi internasional, namun memiliki potensi keuntungan yang eksponensial karena tidak hanya bergantung pada 280 juta penduduk Indonesia. Ia membidik pasar 8 miliar manusia. Ini adalah strategi jangka panjang dengan risiko tinggi, tetapi merupakan satu-satunya jalan keluar dari keterbatasan jumlah layar domestik kita yang menyedihkan.

Jadi, kita punya setidaknya tiga model mesin yang terbukti berfungsi: Formula Lokal, Studio Ramping, dan IP Global. Lalu, mengapa mesin besar industri kita secara keseluruhan masih sering tersendat? Jawabannya ada pada sirkuitnya. Berita tentang "Analisis Hukum New Media" adalah diagnosis dari kebocoran pipa terbesar kita: perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang lemah. Semua profitabilitas yang dibangun dengan susah payah oleh tiga model bisnis di atas terus-menerus digerogoti oleh pembajakan yang merajalela di ruang digital yang tidak diregulasi. Buat apa membangun mesin balap F1 jika bahan bakarnya bisa dicuri oleh siapa saja di sepanjang pit stop?

Kesimpulannya sangat teknis dan tidak sentimental. Industri kita tidak sedang mengalami krisis kreativitas. Kita sedang mengalami krisis manajemen dan krisis infrastruktur. Kita memiliki mesin-mesin yang bagus. Namun, mereka semua dipaksa balapan di sirkuit yang sama: jadwal rilis yang kanibalistik dan keamanan HKI yang bocor. Rekomendasi saya jelas: sebelum kita berinvestasi lebih banyak untuk membangun mesin-mesin baru yang lebih berkilau, mari kita fokus menambal lubang di aspal dan memasang pagar keamanan di sirkuit ini. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan kecelakaan demi kecelakaan yang sebenarnya bisa dihindari.


Tiga Mesin yang Berfungsi, Satu Sirkuit yang Rusak Parah