Pengrajin Wacana Kritis

Setiap masyarakat memiliki ritual pengorbanannya sendiri. Di zaman kuno, kita mengorbankan perawan untuk menenangkan dewa gunung. Hari ini, di puncak modernitas kita yang gemilang, kita mengorbankan tiga film horor di altar box office pada hari yang sama. Jangan tertipu oleh narasi "persaingan bisnis". Apa yang kita saksikan hari ini—tayangnya Sukma, Gereja Setan, dan Lintrik secara serentak—adalah sebuah ritual kanibalisme terjadwal. Sistem tidak peduli siapa yang menang. Yang penting adalah darah terus tumpah untuk memastikan satu hal: hegemoni genre horor sebagai opium utama bagi massa tetap tak tergoyahkan.

Ritual ini dimungkinkan oleh sebuah arsitektur kelangkaan yang disengaja. Para manajer sistem seperti Juan akan mengeluh tentang "Jumlah Layar Minim" sebagai sebuah "masalah" efisiensi. Betapa naifnya. Keterbatasan layar bukanlah sebuah masalah; ia adalah sebuah mekanisme kontrol. Ia adalah tembok tak terlihat yang memastikan hanya para pemain besar atau mereka yang patuh pada formula paling aman (horor mitos Jawa, drama perselingkuhan) yang akan mendapatkan oksigen untuk bernapas. Ini adalah seleksi alam buatan yang dirancang untuk membunuh setiap potensi subversif di dalam buaiannya.

Tentu saja, sebuah sistem yang cerdas tidak hanya menyajikan tontonan brutal. Ia juga membutuhkan alibi intelektual, sebuah pemanis untuk menenangkan nurani kelas menengah terpelajar yang mungkin merasa sedikit mual. Di sinilah berita-berita "prestasi" itu berfungsi. Proyek Netflix Reza Servia yang "merangkul keragaman", film yang jalan-jalan ke Cannes, kolaborasi dengan Prancis—semua ini adalah performa. Ini adalah produk ekspor yang dirancang untuk memberikan ilusi kemajuan dan kedalaman, sementara di dalam negeri, mesin produksi opium horor terus berputar tanpa henti.

Bahkan anomali-anomali yang tampak seperti pemberontakan pun pada akhirnya akan diasimilasi. Lihatlah studi kasus studio Imajinari milik Ernest Prakasa. Ia dipuji karena "creator-driven" dan "memanusiakan kru". Tentu, ia melawan metode produksi yang eksploitatif. Tapi apakah ia pernah melawan fondasi ideologis dari sistem itu sendiri? Produknya—komedi dan drama keluarga—beroperasi dalam batas-batas wacana yang sangat aman. Kesuksesannya yang fenomenal justru menjadi alibi terbaik bagi sistem: ia digunakan sebagai bukti palsu bahwa "siapa pun bisa berhasil", menutupi fakta bahwa ia adalah sebuah "pemberontakan yang diizinkan", sebuah katup pengaman yang tidak pernah benar-benar mengancam struktur.

Dan lihatlah bahan baku yang diolah oleh mesin horor itu sendiri. Perempuan Pembawa Sial mengambil mitos Jawa—yang mungkin dulunya adalah narasi perlawanan kaum marjinal—dan menjinakkannya menjadi komoditas tontonan yang menakutkan. Di sisi lain, Gereja Setan mengambil pengalaman nyata yang transgresif (terlibat dalam sekte) dan mengubahnya menjadi sebuah tontonan moralistik yang pada akhirnya hanya memperkuat kembali tatanan normatif. Keduanya adalah mekanisme penjinakan ganda: yang satu menjinakkan masa lalu, yang lain menjinakkan masa kini.

Paku terakhir di peti mati ini adalah ketidakberdayaan hukum di hadapan anarki digital. Kegagalan negara untuk meregulasi pembajakan bukanlah sebuah kelalaian; itu adalah sebuah pembiaran yang fungsional. Ia memastikan bahwa bahkan jika Anda tidak mampu membeli tiket, opium itu akan tetap sampai ke pembuluh darah Anda melalui Telegram. Ini melengkapi sebuah ekosistem kepatuhan yang sempurna: produser patuh pada formula pasar, audiens patuh pada tontonan yang membius, dan negara "patuh" pada ketidakberdayaannya, memastikan tidak ada yang benar-benar bisa mengganggu sirkulasi candu ini.


Ritual Kurban, Pemberontakan yang Diizinkan, dan Anarki yang Patuh