Dua Mesin Industri Kita: Saat Gengsi dan Profit Berjalan di Jalur yang Berbeda
Juan Pangemanann
9/13/20254 min read
Setiap kali saya mendengar keluhan tentang mahalnya biaya produksi film di Indonesia, seperti yang baru-saat disuarakan oleh seorang Anggota DPR, saya harus menghela napas. Masalah fundamental industri kita bukanlah pada label harga. Industri kita tidak mahal; ia hanya sangat boros dan tidak efisien. Kita membakar sumber daya—uang, waktu, talenta—pada proses yang tidak terstandarisasi, birokrasi yang rumit, dan yang paling parah, pada model-model bisnis yang lebih memprioritaskan gengsi daripada profitabilitas yang berkelanjutan.
Mari kita lihat data yang tersaji minggu ini. Di satu sisi, ada berita yang patut diapresiasi: film-film kita semakin sering wara-wiri di sirkuit festival internasional. Enam film berangkat ke Busan, dua puluh lima film lolos seleksi ketat FFI. "Mesin Gengsi" kita tampaknya sedang bekerja lebih keras dan menghasilkan produk dengan kualitas polesan yang lebih baik dari sebelumnya. Ini adalah sebuah tren positif. Namun, sebagai seorang analis bisnis, saya wajib mengajukan pertanyaan lanjutan yang brutal: Lalu apa dampaknya pada neraca keuangan? Apakah piala dari festival di Korea atau tepuk tangan meriah di Cannes bisa diterjemahkan menjadi penjualan tiket yang signifikan di Cikampek, Balikpapan, atau Medan?
Untuk menjawabnya, kita bisa melihat studi kasus jangka panjang pada figur seperti Garin Nugroho, yang karya terbarunya, Dilanjutkan Salah Disudahi Perih, diumumkan akan segera tayang. Garin adalah contoh paling sempurna dari seorang produsen yang sangat produktif dan sangat sukses di dalam "Mesin Gengsi". Karyanya diakui, diundang ke berbagai festival, dan namanya dihormati. Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang ROI, berapa banyak dari film-filmnya yang berhasil menjadi fenomena komersial di pasar domestik? Model bisnis yang ia wakili—produksi konstan untuk sirkuit festival—seringkali adalah sebuah model yang disubsidi oleh gengsi, pendanaan eksternal, dan reputasi, bukan oleh pendapatan tiket yang berkelanjutan. Ini adalah sebuah kemewahan, bukan sebuah model yang bisa direplikasi oleh 99% pelaku industri lainnya. Apa yang kita saksikan adalah sebuah pemisahan (decoupling) yang berbahaya: sirkuit produksi untuk festival internasional telah terputus dari realitas pasar terbesar kita, yaitu pasar domestik. Para sineas di jalur ini menjadi terlalu fokus untuk "menyenangkan kurator asing" dan lupa cara "berbicara dengan tetangga sendiri".
Peringatan ini ternyata bukan hanya datang dari spreadsheet saya. Tengoklah ruang-ruang diskusi publik seperti Reddit. Ketika mereka membahas film festival, sentimen yang muncul seringkali adalah skeptisisme. Ada kekhawatiran tentang "poverty porn" atau "eksotisme budaya"—sebuah sinyal jernih dari konsumen yang sadar bahwa banyak dari "produk premium" ini sebenarnya dirancang untuk selera penonton di luar negeri. Ini bukan lagi sekadar opini; ini adalah riset pasar gratis yang memberitahu kita bahwa ada jurang persepsi antara apa yang dianggap "berkualitas" oleh elite industri dengan apa yang dianggap relevan oleh penontonnya.
Maka, diagnosis akhirnya menjadi jelas. Industri kita saat ini menjalankan dua mesin di atas dua rel kereta yang terpisah dan jarang bertemu. Ada "Mesin Komersial" yang sangat efisien dalam memproduksi horor dan drama populer, yang menjaga seluruh ekosistem ini tetap hidup dengan aliran uang tunai. Lalu ada "Mesin Gengsi", yang semakin mahir dalam memproduksi karya-karya berkualitas festival, tetapi seringkali membakar bahan bakar (modal dan talenta) tanpa pernah mengisi ulang tangkinya sendiri dari pasar domestik.
Masalahnya, kita memperlakukan "Mesin Gengsi" ini seperti artefak suci yang tidak boleh disentuh oleh logika profit. Ini adalah kesalahan strategis yang fatal. Rekomendasi saya sederhana: kita harus mulai menuntut akuntabilitas finansial dari mesin ini. Setiap proyek yang masuk ke sirkuit festival harus memiliki jalur yang jelas menuju profitabilitas, entah melalui penjualan internasional yang konkret, atau melalui strategi pemasaran domestik yang mampu menerjemahkan "pujian kritis" menjadi "penjualan tiket". Jika tidak, "Mesin Gengsi" ini hanya akan terus menjadi beban finansial yang indah, yang ironisnya, justru menghambat pertumbuhan industri yang sehat secara keseluruhan.
Baik. Rancangan disetujui. Saya akan menulis esai lengkapnya, memastikan nada Gregg yang lelah namun tajam dalam merespons kedua seniornya.
Setiap kali saya mendengar keluhan tentang mahalnya biaya produksi film di Indonesia, seperti yang baru-saat disuarakan oleh seorang Anggota DPR, saya harus menghela napas. Masalah fundamental industri kita bukanlah pada label harga. Industri kita tidak mahal; ia hanya sangat boros dan tidak efisien. Kita membakar sumber daya—uang, waktu, talenta—pada proses yang tidak terstandarisasi, birokrasi yang rumit, dan yang paling parah, pada model-model bisnis yang lebih memprioritaskan gengsi daripada profitabilitas yang berkelanjutan.
Mari kita lihat data yang tersaji minggu ini. Di satu sisi, ada berita yang patut diapresiasi: film-film kita semakin sering wara-wiri di sirkuit festival internasional. Enam film berangkat ke Busan, dua puluh lima film lolos seleksi ketat FFI. "Mesin Gengsi" kita tampaknya sedang bekerja lebih keras dan menghasilkan produk dengan kualitas polesan yang lebih baik dari sebelumnya. Ini adalah sebuah tren positif. Namun, sebagai seorang analis bisnis, saya wajib mengajukan pertanyaan lanjutan yang brutal: Lalu apa dampaknya pada neraca keuangan? Apakah piala dari festival di Korea atau tepuk tangan meriah di Cannes bisa diterjemahkan menjadi penjualan tiket yang signifikan di Cikampek, Balikpapan, atau Medan?
Untuk menjawabnya, kita bisa melihat studi kasus jangka panjang pada figur seperti Garin Nugroho, yang karya terbarunya, Dilanjutkan Salah Disudahi Perih, diumumkan akan segera tayang. Garin adalah contoh paling sempurna dari seorang produsen yang sangat produktif dan sangat sukses di dalam "Mesin Gengsi". Karyanya diakui, diundang ke berbagai festival, dan namanya dihormati. Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang ROI, berapa banyak dari film-filmnya yang berhasil menjadi fenomena komersial di pasar domestik? Model bisnis yang ia wakili—produksi konstan untuk sirkuit festival—seringkali adalah sebuah model yang disubsidi oleh gengsi, pendanaan eksternal, dan reputasi, bukan oleh pendapatan tiket yang berkelanjutan. Ini adalah sebuah kemewahan, bukan sebuah model yang bisa direplikasi oleh 99% pelaku industri lainnya. Apa yang kita saksikan adalah sebuah pemisahan (decoupling) yang berbahaya: sirkuit produksi untuk festival internasional telah terputus dari realitas pasar terbesar kita, yaitu pasar domestik. Para sineas di jalur ini menjadi terlalu fokus untuk "menyenangkan kurator asing" dan lupa cara "berbicara dengan tetangga sendiri".
Peringatan ini ternyata bukan hanya datang dari spreadsheet saya. Tengoklah ruang-ruang diskusi publik seperti Reddit. Ketika mereka membahas film festival, sentimen yang muncul seringkali adalah skeptisisme. Ada kekhawatiran tentang "poverty porn" atau "eksotisme budaya"—sebuah sinyal jernih dari konsumen yang sadar bahwa banyak dari "produk premium" ini sebenarnya dirancang untuk selera penonton di luar negeri. Ini bukan lagi sekadar opini; ini adalah riset pasar gratis yang memberitahu kita bahwa ada jurang persepsi antara apa yang dianggap "berkualitas" oleh elite industri dengan apa yang dianggap relevan oleh penontonnya.
Maka, diagnosis akhirnya menjadi jelas. Industri kita saat ini menjalankan dua mesin di atas dua rel kereta yang terpisah dan jarang bertemu. Ada "Mesin Komersial" yang sangat efisien dalam memproduksi horor dan drama populer, yang menjaga seluruh ekosistem ini tetap hidup dengan aliran uang tunai. Lalu ada "Mesin Gengsi", yang semakin mahir dalam memproduksi karya-karya berkualitas festival, tetapi seringkali membakar bahan bakar (modal dan talenta) tanpa pernah mengisi ulang tangkinya sendiri dari pasar domestik.
Masalahnya, kita memperlakukan "Mesin Gengsi" ini seperti artefak suci yang tidak boleh disentuh oleh logika profit. Ini adalah kesalahan strategis yang fatal. Rekomendasi saya sederhana: kita harus mulai menuntut akuntabilitas finansial dari mesin ini. Setiap proyek yang masuk ke sirkuit festival harus memiliki jalur yang jelas menuju profitabilitas, entah melalui penjualan internasional yang konkret, atau melalui strategi pemasaran domestik yang mampu menerjemahkan "pujian kritis" menjadi "penjualan tiket". Jika tidak, "Mesin Gengsi" ini hanya akan terus menjadi beban finansial yang indah, yang ironisnya, justru menghambat pertumbuhan industri yang sehat secara keseluruhan.
Baik. Rancangan disetujui. Saya akan menulis esai lengkapnya, memastikan nada Gregg yang lelah namun tajam dalam merespons kedua seniornya.