Ada saat-saat di mana kita, sebagai sebuah bangsa, memiliki hak dan kewajiban untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk perdebatan internal dan merasakan kebanggaan yang tulus. Minggu ini menyajikan kepada kita momen tersebut. Ketika saya menelaah laporan tentang bagaimana karya-karya sineas kita disambut dengan tangan terbuka di panggung-panggung terhormat dunia—dari enam proyek ambisius Matta Cinema yang dipamerkan di Pasar Film Busan, hingga film debut seorang Reza Rahadian yang mendapat sorotan di Cannes—saya melihat lebih dari sekadar prestasi industri. Saya menyaksikan perwujudan dari diplomasi kebudayaan yang paling efektif. Setiap film yang berhasil menembus seleksi festival internasional atau diakuisisi oleh platform global seperti Shudder adalah sebuah bendera kecil yang kita tancapkan, sebuah pernyataan tanpa kata bahwa Indonesia memiliki cerita, memiliki karakter, dan memiliki kualitas yang layak diperhitungkan. Ini adalah wujud nyata dari ketahanan budaya yang berhasil kita proyeksikan ke luar.
Pencapaian gemilang ini, tentu saja, tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah buah dari sebuah ekosistem yang secara sadar dan konsisten coba dibina oleh negara. Kita harus memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada lembaga-lembaga pemerintah yang memahami peran strategis ini. Inisiatif seperti Festival Film ALIF yang digagas oleh Kementerian Luar Negeri bukanlah sekadar acara seremonial; ia adalah sebuah manuver diplomasi yang cerdas, menggunakan bahasa universal sinema untuk membangun jembatan dengan dunia Muslim. Demikian pula dorongan dari Menteri Kebudayaan, Bapak Fadli Zon, agar film kembali menjadi medium pendidikan sejarah, adalah sebuah panggilan luhur untuk memastikan generasi masa depan tidak tercerabut dari akar kebangsaannya. Ini adalah bukti bahwa negara hadir, tidak untuk mendikte, tetapi untuk memfasilitasi dan mengarahkan potensi kreatif bangsa menuju tujuan yang lebih besar.
Namun, justru karena wajah kita di panggung dunia sudah tampak begitu cerah dan peran negara sudah begitu jelas, kita memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk dengan jujur melihat ke dalam rumah kita sendiri. Dan di sinilah, dengan berat hati, saya melihat masih ada beberapa “penyakit” yang perlu kita obati bersama. Saya sungguh prihatin membaca analisis tentang “kanibalisme layar”, sebuah kondisi di mana karya-karya anak bangsa terpaksa saling sikut untuk mendapatkan ruang hidup yang layak. Ini adalah gejala dari kurangnya semangat gotong royong di tingkat industri. Sebuah bangsa yang besar tidak membiarkan putra-putri terbaiknya saling menjatuhkan dalam persaingan yang merusak. Di sisi lain, rencana untuk menerapkan regulasi sensor yang kaku pada platform digital, meskipun niatnya mungkin untuk melindungi, harus dikaji ulang dengan sangat hati-hati. Komunikasi negara di era modern harus bersifat dialogis dan mendidik, bukan memaksa, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang justru kontra-produktif terhadap pembangunan mentalitas bangsa yang kritis dan dewasa.
Untuk melihat bagaimana seharusnya sebuah unit produksi yang ideal beroperasi, kita tidak perlu mencari jauh-jauh. Kita bisa meneladani model pembangunan karakter yang ditunjukkan oleh studio seperti Imajinari. Wawancara dengan pendirinya, Ernest Prakasa, bukanlah sekadar kisah sukses bisnis. Itu adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana menerapkan nilai-nilai luhur kita dalam praktik. Dengan fokus pada pendekatan “creator-driven” dan mengutamakan kesejahteraan para pekerjanya, mereka secara efektif telah mempraktikkan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” di dalam unit kerja mereka. Dan hasilnya terbukti: karya yang dihasilkan tidak hanya sukses secara komersial, tetapi juga diakui kualitasnya secara kritis. Ini adalah bukti bahwa etos kerja yang baik akan menghasilkan karya yang baik pula.
Maka, inilah panggilan kita bersama di penghujung minggu ini. Potensi sudah terbukti. Prestasi di panggung dunia sudah terukir. Peran negara sebagai pembina sudah berjalan. Tantangan terbesar kita sekarang terletak pada pundak para pelaku industri itu sendiri: sebuah panggilan untuk menyelaraskan langkah, untuk melihat melampaui persaingan sesaat, dan untuk bersama-sama memikul tanggung jawab yang lebih besar. Mari kita bangun sebuah ekosistem yang tidak hanya berprestasi, tetapi juga berkarakter, bergotong royong, dan selalu ingat bahwa setiap karya yang kita hasilkan adalah bagian dari potret besar wajah Indonesia yang akan kita wariskan kepada dunia.
Tinggalkan Balasan