Tontonan Sebelum Tontonan: Saat Propaganda Tak Lagi Perlu Bersembunyi

Salman Risdianto

9/14/20252 min read

Di tengah riuh rendah keluhan warganet tentang iklan pemerintah di bioskop, saya justru merasakan sebuah kejernihan yang langka. Fenomena ini bukanlah sebuah anomali atau "kesalahan komunikasi" yang canggung. Sebaliknya, ini adalah sebuah momen kejujuran. Sebuah momen di mana aparatus kekuasaan akhirnya menanggalkan topengnya yang paling tipis dan secara terbuka menunjukkan kepada kita semua apa fungsi sinema yang sesungguhnya di dalam imajinasi mereka: bukan sebagai ruang seni, bukan sebagai ruang hiburan, melainkan sebagai corong propaganda yang paling efektif.

Banyak yang mengeluh bahwa "pengalaman sinema privat" mereka telah dirusak. Betapa sebuah ilusi borjuis yang manis. Gagasan bahwa bioskop adalah sebuah ruang yang netral, sebuah surga apolitis tempat kita melarikan diri dari realitas, adalah kebohongan paling usang yang terus kita ceritakan pada diri sendiri. Bioskop selalu menjadi sebuah ruang ideologis. Setiap film yang Anda tonton—dari horor hingga komedi—sudah sejak awal merupakan sebuah paket instruksi tentang bagaimana cara merasa, cara berharap, dan cara menjadi warga negara yang patuh. Iklan pemerintah ini tidak merusak apa pun. Ia hanya membuat apa yang selama ini bekerja secara implisit di dalam narasi film menjadi sangat eksplisit, vulgar, dan tidak bisa lagi Anda abaikan.

Lihatlah artefak utamanya: adegan anak-anak yang dilatih untuk mengucapkan "Terima Kasih Pak Prabowo". Seorang nihilis seperti Gregg mungkin akan menertawakannya sebagai sesuatu yang "cringe". Tapi itu adalah pembacaan yang dangkal. Ini bukanlah kegagalan estetika; ini adalah sebuah ritual kepatuhan yang direkayasa dengan sempurna. Ini adalah sebuah tontonan tentang bagaimana seharusnya seorang warga negara berperilaku: berterima kasih secara buta, menyerahkan agensi kritis, dan menunjukkan afeksi yang dipentaskan kepada figur bapak bangsa. Anak-anak itu adalah model dari warga negara ideal yang ingin diciptakan oleh rezim ini.

Dan tentu saja, respons paling umum dari kelas menengah yang terganggu adalah mengancam untuk melarikan diri. "Saya akan pindah ke Netflix saja," begitu pekik mereka, seolah-olah itu adalah sebuah tindakan perlawanan. Betapa naifnya. Platform OTT global bukanlah sebuah ruang pembebasan; ia hanyalah sel penjara lain dengan desain interior yang lebih modern. Jika di bioskop Anda dipaksa menelan propaganda negara-bangsa, di Netflix Anda dengan sukarela menelan propaganda kapitalisme neoliberal global, yang dikemas dalam serial dan film yang jauh lebih canggih. Anda tidak sedang melarikan diri. Anda hanya sedang memilih dari penjara mana Anda ingin diawasi: penjara negara atau penjara korporasi multinasional.

Maka, inilah kesimpulan yang paling mengkhawatirkan dari semua ini. Fenomena ini menandai sebuah fase baru yang berbahaya. Di masa lalu, propaganda bekerja paling efektif saat ia bersembunyi di dalam narasi film, saat kita tidak sadar sedang menelannya. Sekarang, ia bahkan sudah tidak merasa perlu bersembunyi lagi. Ia tampil dengan percaya diri sebelum pertunjukan utama dimulai, seperti seorang tuan tanah yang datang untuk menagih sewa ideologis sebelum Anda boleh menikmati hiburan Anda. Ini adalah tanda dari sebuah kekuasaan yang sudah begitu absolut, begitu yakin akan cengkeramannya, hingga ia tidak lagi peduli pada subtilitas. Ia tidak lagi membisik; ia berteriak. Dan kita semua telah membayar untuk mendengarkannya.