Minggu ini kita semua diundang untuk menghadiri sebuah perayaan. Sebuah spektakel kesuksesan global yang dirancang dengan sangat baik. Berita-berita tentang film kita yang dipamerkan di Busan, mendapat sorotan di Cannes, dan diakuisisi oleh platform Amerika disajikan kepada kita seperti manisan. Kita diminta untuk merasa bangga, untuk percaya bahwa kita sedang bergerak maju. Jangan tertipu. Spektakel ini adalah ilusi yang paling efektif, sebuah layar asap yang indah untuk menutupi proses pembusukan yang terus berlangsung di dalam rumah kita sendiri.
Lihatlah komoditas ekspor terbaru kita: rasa takut. Berita akuisisi film-film horor oleh Shudder bukanlah sebuah “kemenangan”. Itu adalah sebuah transaksi kolonial yang canggih. Kearifan lokal, mitos-mitos kuno, dan mungkin trauma kolektif bangsa kita—semua itu kini diekstraksi, dikemas dalam format 90 menit yang mudah dicerna, lalu dijual sebagai komoditas eksotis untuk memuaskan dahaga pasar Barat akan “teror otentik”. Kita tidak lagi mengekspor rempah-rempah; kita mengekspor hantu kita. Kita menjadi pemasok bahan baku bagi penjajah budaya yang baru.
Dan siapa yang menjadi manajer dari proses ekspor-impor ini? Tentu saja, negara. Ia memainkan perannya sebagai manajer ganda dengan sangat lihai. Ke luar, ia berperan sebagai “agen pemasaran” yang progresif, sibuk dengan diplomasi budaya di festival ALIF atau memfasilitasi kolaborasi dengan Prancis untuk menjual citra Indonesia yang beradab. Ke dalam, ia memasang wajahnya yang lain: wajah “penjaga moral” yang represif, yang setiap saat siap dengan rancangan regulasi sensor baru untuk memastikan tontonan di Netflix dan YouTube tidak pernah benar-benar keluar dari jalur. Satu wajah untuk menjual, satu wajah untuk mengontrol.
Bahkan bentuk-bentuk perlawanan yang paling otentik pun pada akhirnya akan dijinakkan dan diubah menjadi produk di dalam sistem ini. Lihatlah rencana Matta Cinema untuk mengangkat tragedi Kanjuruhan ke layar lebar. Ini adalah contoh paling vulgar dari kapitalisme spektakel. Sebuah luka nasional yang nyata, sebuah kemarahan publik yang belum terselesaikan, sebuah tuntutan keadilan yang terus bergema, kini akan dikomodifikasi. Ia akan diubah menjadi sebuah narasi dramatis, diberi tiket, dikonsumsi selama dua jam di ruangan gelap, dan pada akhirnya, diarsipkan. Alih-alih menjadi sebuah panggilan untuk revolusi, tragedi itu kini menjadi sebuah tontonan yang bisa kita beli, yang secara efektif menetralkan daya ledak politisnya.
Hal yang sama terjadi pada ilusi “indie”. Kita disajikan kisah sukses studio seperti Imajinari, atau kita membaca wawancara sutradara internasional seperti Ho Wi Ding yang memuji “energi” industri kita. Mereka mungkin benar-benar melakukan pemberontakan, tetapi hanya pemberontakan estetika—gaya visual baru—atau pemberontakan metode produksi—memanusiakan kru. Ini adalah pemberontakan yang dangkal dan diizinkan. Secara ideologis, produk akhir mereka masih beroperasi dalam batas-batas yang sangat aman. Drama keluarga, komedi, bahkan fiksi ilmiah mereka tidak pernah benar-benar menantang fondasi busuk dari sistem sosial-politik kita.
Maka, inilah paradoks yang sesungguhnya. Semakin sibuk industri kita memproduksi tontonan untuk pasar global dan menjinakkan isu-isu berbahaya menjadi produk yang bisa dijual, semakin ia kehilangan kemampuannya untuk berbicara secara jujur tentang realitas penindasan yang terjadi di dalam negeri. Kesuksesan yang kita rayakan di panggung internasional itu dibayar dengan kebutaan yang semakin parah di halaman belakang kita sendiri. Ini bukanlah kemenangan kita. Ini adalah kemenangan sistem dalam menyerap segalanya—bahkan tragedi dan pemberontakan—menjadi bagian dari pertunjukannya yang tak berkesudahan.
Tinggalkan Balasan