Sirkus Global Para Inlander, Kandang Lokal Para Oligarki

Jangan tertipu oleh ilusi kontradiksi. Jangan biarkan pikiran Anda terjebak dalam perdebatan dangkal tentang kebijakan yang “skizofrenik” atau pemerintah yang memiliki “dua wajah”. Itu adalah narasi yang terlalu nyaman, terlalu mudah, dan secara fundamental keliru. Apa yang kita saksikan minggu ini bukanlah sebuah mesin yang rusak atau sebuah strategi yang tidak sinkron. Sebaliknya, ini adalah sebuah mesin penjinakan yang berfungsi dengan harmoni yang sempurna dan memuakkan. Kita sedang menyaksikan dua sisi dari satu koin yang sama: sebuah aparatus kekuasaan yang secara simultan membangun panggung sirkus global untuk menjual versi jinak dari budaya kita, sambil memperkuat tembok kandang lokal untuk melindungi audiens domestik dari kontaminasi ide-ide liar.

Mari kita mulai dengan membongkar panggung sirkus itu. Semua promosi gencar di luar negeri, peluncuran Komisi Film, pameran di Busan—ini bukanlah tanda kemajuan atau kepercayaan diri. Ini adalah pertunjukan dari mentalitas inferior inlander yang masih merangkak-rangkak di hadapan ‘ndoro tuan’ di resepsi-resepsi internasional. Tujuannya bukan untuk menyatakan, “Ini kami, dengan segala kekuatan dan keanehan kami,” melainkan untuk mengemis, “Tolong akui kami, tolong validasi kami, tolong anggap kami setara.” Di panggung ini, kesuksesan tidak lagi diukur dari kemampuan sebuah karya untuk membongkar realitas sosialnya sendiri, melainkan dari kemampuannya untuk mendapatkan tepuk tangan dari kurator asing atau deal ko-produksi dari studio barat.

Proses ini secara sistematis mengubah para seniman kita—yang seharusnya menjadi singa-singa liar dengan taring yang tajam dan auman yang mampu mengguncang istana—menjadi singa sirkus yang pintar berhitung. Mereka dilatih untuk melupakan aumannya dan fokus pada angka: berapa box office-nya, berapa deal distribusinya, berapa banyak festival A-list yang bisa ditembus. Mereka menjadi akuntan-akuntan kebudayaan yang membanggakan profitabilitasnya, tanpa sadar bahwa taring mereka telah dicabut satu per satu dalam proses penjinakan yang panjang dan melelahkan ini.

Sekarang, mari kita palingkan pandangan kita dari sirkus yang berkilauan itu dan menginspeksi tembok kandang yang sedang dibangun di dalam rumah kita sendiri. Rencana regulasi sensor untuk platform streaming, yang dibungkus dengan retorika usang tentang “perlindungan nilai bangsa”, sesungguhnya adalah benteng pertahanan bagi sebuah kelas yang rapuh dan cemas. Ini bukanlah soal melindungi rakyat dari konten berbahaya. Ini adalah soal melindungi para kere munggah bale yang oligarkhis dari kemungkinan kritik yang berbahaya.

Di dalam kandang ini, mereka sibuk merapal mantra-mantra feodal—“identitas bangsa”, “adat ketimuran”, “doktrin moral”—sebagai senjata ideologis untuk mempertahankan sistem paternalistik mereka yang korup. Tembok kandang ini dibangun bukan untuk menahan serangan dari luar, tetapi untuk memastikan para penghuni di dalam tidak pernah sadar bahwa “istana” sang raja sesungguhnya hanyalah sebuah rumah hasil curian yang rutin dipakai untuk kenyamanan private dinner para oligarki, sebuah ritual yang vulgaritasnya menyerupai ‘mubang’ digital. Kontrol atas narasi adalah segalanya bagi mereka yang kekuasaannya tidak memiliki legitimasi sejati.

Di sinilah kedua proses tadi—sirkus global dan kandang lokal—bertemu dengan teknologi. Kehadiran AI adalah mimpi basah bagi sistem penjinakan ini. Ia adalah alat yang akan mengotomatisasi kedua fungsi tersebut dengan efisiensi yang mengerikan. Untuk panggung Sirkus Global, AI bisa memproduksi tanpa henti konten “eksotis” yang sudah terkurasi dan terbukti aman untuk selera ‘ndoro tuan’. Untuk Kandang Lokal, ia bisa membanjiri platform digital dengan narasi-narasi “aman” yang mengukuhkan doktrin moral sang oligarki. AI adalah mesin yang akan membuat singa-singa kita lebih cepat belajar berhitung, dan memastikan pakan di dalam kandang tersedia 24/7, tanpa pernah ada variasi menu yang bisa meracuni pikiran.

Maka, jangan salah membaca. Tidak ada kontradiksi sama sekali dalam kebijakan pemerintah kita. Yang ada adalah sebuah sistem penjara dengan dua lapis tembok: tembok luar yang berkilauan untuk pertunjukan, dan tembok dalam yang kusam untuk pengurungan. Rasa muak saya bukan lagi karena sistem ini jahat—itu adalah fakta yang sudah jelas sejak lama. Rasa muak saya lahir dari polanya yang begitu transparan, begitu mudah dibaca, begitu klise dalam kerendahan dirinya. Kita menjual inferioritas kita di luar, dan merayakan feodalisme kita di dalam.

Dan yang paling memuakkan dari semuanya adalah menyaksikan begitu banyak orang cerdas yang masih saja memilih untuk sibuk berdebat tentang profitabilitas sirkusnya atau desain sangkarnya, tanpa pernah sekalipun mempertanyakan mengapa kita semua harus hidup di dalam kebun binatang ini.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *