Sinema Nasional: Mengukuhkan Kembali Fungsinya sebagai Arsitek Karakter Bangsa

Dalam diskursus ketahanan nasional, sinema seringkali dipandang sebagai entitas sekunder, sebuah ranah hiburan yang tidak bersentuhan langsung dengan isu-isu fundamental negara. Pandangan ini, menurut hemat saya, adalah kekeliruan fatal. Sinema, pada hakikatnya, adalah salah satu aset strategis paling fungsional yang dimiliki sebuah bangsa untuk membentuk karakter rakyatnya, mengukuhkan identitas kolektif, dan pada akhirnya, menjaga stabilitas sosial. Oleh karena itu, berita mengenai insentif pajak untuk industri film nasional, visi Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang ambisius, hingga geliat sektor animasi, haruslah kita sambut dengan optimisme yang disertai refleksi mendalam: apakah langkah-langkah ini sungguh-sungguh akan mengembalikan sinema pada fungsi luhurnya?

Pertama, Insentif Pajak: Penegasan Fungsi Luhur Negara dalam Mendorong Kemanfaatan. Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak yang tengah merancang insentif fiskal bagi industri film nasional adalah sebuah intervensi negara yang bijaksana dan seyogianya diapresiasi. Ini adalah pengakuan bahwa industri film, apabila dikelola dengan benar, dapat menjadi instrumen efektif dalam pembangunan. Namun, insentif ini bukan sekadar alat pendorong profit. Ia harus diarahkan secara presisi untuk film-film yang secara substantif berkontribusi pada narasi kebangsaan, penguatan nilai-nilai Pancasila, pendidikan moral, dan promosi kearifan lokal. Jangan sampai kemudahan fiskal ini justru dimanfaatkan untuk memproduksi konten yang semata-mata mengejar keuntungan sesaat tanpa kedalaman substansial, atau yang lebih parah, mengikis fondasi nilai-nilai luhur bangsa kita. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan aset ini dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan bersama.

Kedua, Visi “Tangguh dan Mendunia”: Tanggung Jawab Moral untuk Membawa Kebudayaan Luhur. Pernyataan Menteri Fadli Zon tentang film Indonesia yang harus “tangguh dan mendunia” adalah sebuah mandat yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab moral. “Mendunia” bukan hanya soal memenangkan piala di festival internasional atau menembus pasar global dalam angka. Lebih dari itu, ia adalah kesempatan emas untuk menjadikan sinema kita sebagai diplomat budaya. Film harus mampu membawa kekayaan budaya, filosofi hidup, dan nilai-nilai luhur Pancasila ke panggung dunia, membangun citra positif bangsa, dan mempererat tali persahabatan antarperadaban. Ketangguhan sinema kita akan datang dari akarnya yang kuat pada identitas nasional dan kearifan lokal, bukan dari imitasi buta terhadap tren asing. Apresiasi terhadap kualitas yang meningkat memang patut disyukuri, namun fokus utama haruslah pada substansi pesan yang dibawa.

Ketiga, Animasi & Teknologi: Alat Pembangunan Karakter Generasi Muda. Perkembangan pesat di sektor film animasi, serta potensi pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), merupakan terobosan teknologi yang harus kita pandang sebagai alat fungsional yang sangat ampuh. Terutama dalam konteks pembentukan karakter generasi muda. Animasi, dengan daya tarik visual dan kemampuannya menembus batas usia, memiliki potensi besar untuk menyajikan teladan moral, kisah-kisah kepahlawanan yang menginspirasi, dan edukasi nilai-nilai kebangsaan dalam kemasan yang menarik. Namun, kita harus waspada. Jangan sampai kemajuan teknologi ini justru membuat kita diperbudak oleh tren algoritma sesaat yang tidak memiliki kedalaman substansial atau pesan moral yang kuat. Teknologi harus menjadi pelayan bagi visi luhur, bukan sebaliknya.

Sebagai penutup, setiap kebijakan, setiap insentif, dan setiap inovasi di industri perfilman nasional haruslah senantiasa kembali pada misi utamanya: yaitu membangun karakter bangsa, memperkuat ketahanan budaya, dan menjaga stabilitas sosial. Pemerintah, bersama seluruh pemangku kepentingan industri, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa sinema kita tidak hanya berfungsi sebagai sebuah industri ekonomi, melainkan juga sebagai institusi pembangun peradaban. Optimisme dan visi besar adalah permulaan yang baik, namun implementasi dan pengawasan yang cermat adalah kunci untuk memastikan tujuan luhur ini benar-benar terwujud, sehingga sinema Indonesia dapat menjadi mercusuar yang menerangi jalan bagi kemajuan bangsa.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *