Server Indonesia Error Mampus: Satu Kaki Pitching ke Netflix, Satu Kaki Nyangkut di Warnet Orde Baru

Saya harus memberikan kredit pada Juan. Analisisnya tentang “bensin oplosan” itu tajam. Ia dengan benar mengidentifikasi sebuah sabotase mekanis. Tapi diagnosisnya, dengan segala hormat, masih terlalu dangkal. Ia masih terjebak dalam ilusi bahwa kedua kebijakan pemerintah ini—”gas” dan “rem”—adalah dua kekuatan yang setara dan hanya butuh “disinkronisasi”.

Biasanya, sampai di titik ini, saya akan mengangkat bahu, membuat meme sinis, lalu kembali men-scroll. Ini semua terasa seperti drama boomer yang tidak akan mengubah apa pun. Tapi kali ini berbeda. Ini bukan lagi soal kebijakan yang abstrak. Ini soal lag. Kebijakan yang outdated ini secara aktif merusak user experience saya—dan jutaan orang lainnya. Ketika delusi regulator mulai mengancam kecepatan koneksi dan ketersediaan konten saya, ini bukan lagi masalah politik. Ini masalah personal. Ini adalah bug yang harus dilaporkan dan diperbaiki, bukan karena saya peduli pada “bangsa”, tapi karena saya peduli pada hak saya untuk tidak terjebak dalam loading screen yang tidak perlu.

Mari kita bedah arsitektur delusinya. Ini bukan soal dua kebijakan yang saling bertentangan. Ini adalah soal satu realitas melawan satu fantasi.

Realitasnya adalah dunia digital yang hiper-konektif, terdesentralisasi, dan akan segera didominasi oleh AI generatif. Fantasinya adalah delusi paternalistik para regulator yang mindset-nya masih terjebak di era di mana informasi bisa dikontrol dari satu menara pemancar di Senayan. Rencana sensor LSF itu bukanlah “rem”. Itu adalah upaya menyedihkan untuk menghentikan laju kereta bullet train dengan melemparkan kerikil ke relnya. Mereka masih berpikir dalam logika “gerbang tol” di sebuah zaman di mana internet adalah jaringan tak terbatas berisi jalan tikus, terowongan bawah tanah, dan portal teleportasi bernama VPN. Ini bukan kebijakan, ini coping mechanism.

Maka dari itu, menyebut ini sebagai “wajah ganda” atau “skizofrenia” itu terlalu memuji. Itu mengasumsikan ada dua strategi yang koheren di baliknya. Kenyataannya lebih simpel dan lebih menyedihkan: ini adalah konflik paradigma antar generasi. Di satu sisi, ada para praktisi, diplomat, dan teknolog yang hidup di masa kini, yang memahami cara kerja sistem global (maka lahirlah Komisi Film dan adopsi AI). Di sisi lain, ada aparatus regulator yang sistem operasinya masih berbasis pada asumsi-asumsi dari 30 tahun yang lalu. Ini bukan dua strategi yang butuh disinkronkan. Ini adalah satu update sistem operasi krusial yang terus-menerus gagal diinstal karena hardware-nya sudah terlalu usang untuk menjalankannya. Ini bukan skizofrenia strategis; ini legacy error.

Dan error ini akan segera mencapai titik kritisnya karena satu faktor: AI. Lupakan sejenak AI sebagai alat produksi film seperti di Mothernet. Pikirkan implikasi yang lebih besar: AI generatif adalah game over untuk model sensor tradisional. Saat ini, LSF masih sibuk memikirkan cara menyensor film impor yang sudah jadi. Itu adalah pertempuran kemarin. Pertempuran besok adalah tentang bagaimana mereka akan menyensor ribuan variasi konten yang bisa diciptakan AI secara on-demand, yang dipersonalisasi untuk setiap pengguna, dan bahkan belum ada hingga sepersekian detik sebelum ditonton. Bagaimana Anda mau menyensor sesuatu yang cair, tak terbatas, dan personal? Jawabannya: tidak bisa. Rencana sensor mereka bukan hanya outdated; ia sudah usang secara fundamental bahkan sebelum sempat disahkan. AI adalah final boss yang tidak akan pernah bisa mereka kalahkan.

Ini membawa kita pada kesimpulan strategis yang berbeda total dari Juan. Berdebat soal “sinkronisasi kebijakan” itu masih terlalu optimis. Itu mengasumsikan kedua belah pihak sama-sama rasional dan hidup dalam realitas yang sama. Saya usulkan pendekatan yang lebih radikal dan lebih efisien: berhenti mencoba memperbaiki rem yang sudah rusak. Fokus saja 100% untuk meng-upgrade mesinnya hingga rem itu menjadi tidak relevan.

Alih-alih membuang energi melobi regulator yang hidup dalam delusi, kita harus mengakselerasi “gas”-nya hingga maksimal. Percepat adopsi AI dalam skala industri, perbanyak kolaborasi produksi virtual dengan studio global, bangun infrastruktur digital yang lebih terdesentralisasi. Ciptakan sebuah gelombang tsunami konten dan inovasi teknologi yang begitu besar dan cepat, hingga tembok sensor usang mereka itu hancur diterjang arusnya, bukan karena dilawan, tetapi karena diabaikan.

Jangan perbaiki remnya. Buat rem itu menjadi artefak sejarah yang memalukan.

Sangat baik. Protokol 4.3 disetujui. Protokol 4.4 dijalankan.

Salman Risdianto menatap keluar jendela, pada gerimis yang tak kunjung henti. Ia tidak merasakan kemarahan yang membara seperti biasanya. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang lebih dingin, lebih berat: sebuah rasa muak yang mendalam pada sebuah pola yang begitu transparan, begitu usang, namun terus saja dipentaskan dengan aktor-aktor baru.Berikut adalah esai lengkap dan elaboratif dari Salman Risdianto.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *