Sebuah Studi Kasus tentang ROI Negatif: Membedah Kegagalan Finansial Iklan Pemerintah di Bioskop

Juan Pangemanann

9/14/20252 min read

Di dunia bisnis, kita sering dihadapkan pada keputusan investasi yang kompleks. Namun, sesekali, muncul sebuah studi kasus yang begitu jernih dalam kegagalannya hingga ia nyaris bisa dijadikan materi kuliah. Fenomena penayangan iklan pemerintah di bioskop baru-baru ini adalah salah satu contohnya. Mari kita singkirkan sejenak perdebatan rumit tentang propaganda atau etika, dan kita bedah ini murni sebagai sebuah transaksi bisnis. Jika kita melakukannya, kita akan menemukan sebuah mesin yang tidak hanya gagal menghasilkan profit, tetapi secara aktif memproduksi kerugian. Ini adalah studi kasus sempurna tentang Return on Investment (ROI) yang negatif.

Setiap kampanye pemasaran, dari yang terkecil hingga yang termewah, diukur oleh satu pertanyaan sederhana: apakah nilai yang dihasilkan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan? "Nilai" bisa berupa sentimen positif, peningkatan loyalitas, atau akuisisi pelanggan baru. "Biaya" bukan hanya ongkos produksi, tetapi juga potensi kerusakan yang ditimbulkan. Dalam kasus ini, "nilai" yang dihasilkan mendekati nol, bahkan negatif. Data sentimen dari platform seperti Twitter/X menunjukkan cemoohan massal, bukan apresiasi. Ini berarti, dari perspektif brand equity, kampanye ini gagal total. Tidak ada konversi positif.

Lebih buruk lagi, kampanye ini secara aktif menciptakan biaya baru dalam bentuk potensi kehilangan pelanggan. Dalam terminologi bisnis, kita menyebutnya customer churn. Aturan paling dasar dalam manajemen pelanggan adalah mempertahankan pelanggan yang sudah ada (retention) selalu jauh lebih murah dan lebih profitabel daripada mencari pelanggan baru (acquisition). Pelanggan bioskop—terutama di era pasca-pandemi di mana OTT menjadi ancaman konstan—adalah aset yang paling berharga. Mereka adalah segmen pasar yang masih rela mengeluarkan uang dan waktu lebih untuk sebuah pengalaman premium. Ancaman mereka untuk beralih ke Netflix bukanlah sekadar keluhan kosong; itu adalah sinyal pasar yang paling berbahaya. Kampanye ini, alih-alih memperkuat loyalitas, justru memberikan insentif bagi aset pelanggan paling loyal ini untuk pergi. Ini adalah sebuah miskalkulasi finansial fundamental yang akan membuat manajer pemasaran manapun dipecat.

Sekarang, mari kita analisis dari perspektif B2B (Business-to-Business). Transaksi ini melibatkan setidaknya dua pihak: pengiklan (pemerintah) dan mitra distribusi (jaringan bioskop seperti XXI). Bioskop bukanlah ruang publik gratis; ia adalah properti komersial swasta yang menjual sebuah produk bernama "pengalaman premium tanpa interupsi". Ketika seorang pelanggan membeli tiket, ia masuk ke dalam sebuah kontrak tak tertulis dengan bioskop untuk mendapatkan pengalaman tersebut. Dengan menayangkan iklan yang secara aktif dibenci oleh konsumen, bioskop—baik secara sukarela maupun terpaksa—telah melanggar kontrak tersebut. Ini secara langsung merusak brand experience dan brand trust dari bioskop itu sendiri. Dalam jangka panjang, jika penonton mulai mengasosiasikan merek XXI dengan pengalaman yang tidak menyenangkan, maka nilai aset dari properti itu sendirilah yang akan terdevaluasi. Ini adalah praktik kemitraan bisnis yang sangat buruk, di mana satu pihak (pengiklan) secara efektif merusak aset mitra distribusinya.

Maka, kesimpulannya tidak memerlukan analisis ideologis yang rumit. Ini adalah matematika dasar tentang biaya dan keuntungan. Kampanye ini adalah sebuah kegagalan dari tiga sisi finansial yang fatal:

  1. Anggaran Terbakar: Berapa pun biaya produksinya, uang itu menguap untuk membeli sentimen negatif dan cemoohan publik.

  2. Aset Jangka Panjang Dirusak: Loyalitas penonton, yang merupakan fondasi dari seluruh ekosistem box office, secara sadar dipertaruhkan demi sebuah pesan jangka pendek yang bahkan tidak tersampaikan dengan baik.

  3. Risiko Dialihkan ke Mitra: Dampak finansial terburuk dari potensi churn pelanggan dan devaluasi merek justru ditanggung oleh mitra distribusinya, yaitu bioskop.

Ini bukan lagi soal politik. Ini adalah sebuah contoh sempurna tentang bagaimana sebuah strategi yang mengabaikan data sentimen konsumen, merusak pengalaman pengguna, dan membebani mitra bisnis pada akhirnya hanya akan menghasilkan satu hal: kerugian di semua lini. Angkanya, dari semua sisi, sama sekali tidak masuk akal.