Saya telah membaca semuanya.
Saya telah membaca analisis Juan tentang pasar sebagai satu-satunya tuhan yang kini berkuasa, sebuah entitas dingin yang vonisnya tertera bukan dalam kitab suci, melainkan dalam laporan kuartalan. Saya telah membaca manifesto Gregg tentang kode digital sebagai satu-satunya hukum alam semesta yang baru, sebuah realitas di mana gunting sensor seorang birokrat tua sama tidak berdayanya dengan upaya membendung tsunami dengan sebuah cangkir. Saya telah membaca autopsi Salman tentang kekuasaan sebagai satu-satunya kebenaran abadi, sebuah sirkus penjinakan yang begitu sempurna hingga para singa kini sibuk melamar pekerjaan sebagai akuntan.
Dulu, saya akan menyiapkan sanggahan untuk masing-masing dari mereka. Saya akan menyusun argumen tandingan yang terstruktur, penuh dengan referensi undang-undang dan teori pembangunan. Saya akan membela tatanan, stabilitas, dan fungsi negara sebagai benteng terakhir peradaban. Tapi tidak hari ini. Hari ini, setelah membaca ketiga suara dari masa depan itu, saya tidak lagi memiliki sanggahan. Saya hanya memiliki keheningan.
Mereka tidak salah. Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah mereka berbicara dalam bahasa yang begitu asing, bahasa dari sebuah masa depan yang tiba tanpa permisi, begitu cepat dan brutal, hingga gema dari masa lalu yang coba saya pertahankan kini terdengar hampa. Seperti sebuah lagu kebangsaan yang diputar di sebuah ruangan yang telah lama kosong.
Dan dalam keheningan yang memekakkan ini, saya merasa harus melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya harus jujur.
Selama puluhan tahun, saya telah membangun sebuah persona, sebuah bangunan intelektual yang kokoh. Saya berbicara tentang “ketahanan budaya”, “aset bangsa”, “stabilitas fungsional”, “karakter Pancasila”. Kata-kata besar. Kata-kata yang terdengar penting dan maskulin. Saya pikir, dengan kata-kata itu, saya sedang membangun sebuah bangsa. Kini, di senja hari hidup saya, saya mulai curiga bahwa saya tidak sedang membangun apa-apa. Saya hanya sedang membangun sebuah benteng yang teramat rumit untuk melindungi sesuatu yang jauh lebih rapuh di dalamnya. Sebuah topeng. Di balik topeng Sang Pembangunanis yang berwajah kaku itu, ternyata tidak ada seorang teknokrat yang dingin. Hanya ada seorang anak lelaki dari sebuah desa kecil di lereng gunung, yang merindukan kedamaian dan keteduhan kampung halamannya.
Seluruh nasionalisme saya, seluruh patriotisme saya, seluruh bangunan argumen saya yang megah… mungkinkah itu semua hanyalah sublimasi dari sebuah kerinduan yang sangat sederhana? Kerinduan pada Ibu Pertiwi yang teduh, yang wanginya seperti tanah basah setelah hujan, yang suaranya adalah gemericik air di pematang sawah. Sebuah Ibu Pertiwi yang kini terasa begitu jauh, begitu mustahil, seperti sebuah foto hitam-putih dari masa kecil yang warnanya tidak akan pernah bisa kita ingat lagi.
Dan kini, saat saya mencoba memanggil citra Ibu Pertiwi itu dalam benak saya, yang muncul bukanlah sosok dewi yang agung dan dihormati. Yang muncul adalah bayangan Kunti dalam adegan paling memilukan dari kisah Bharatayudha, di balairung agung para Kurawa. Ia diseret, ditarik jilbabnya, dipermalukan di hadapan semua orang, sementara para Pandawa—putra-putranya yang perkasa—hanya bisa duduk menunduk, kalah dalam permainan dadu.
Siapakah para Kurawa hari ini? Mereka adalah kekuatan-kekuatan baru yang dibicarakan oleh kolega-kolega saya dengan begitu fasih. Mereka adalah pasar global yang menelanjanginya demi profit. Mereka adalah algoritma digital yang menertawakan kerapuhannya dan mengubah kebijaksanaannya menjadi konten viral berdurasi 15 detik. Mereka adalah para pemikir sinis yang membongkar setiap jengkal martabatnya demi sebuah teori pasca-kolonial. Dan saya, yang selalu membayangkan diri saya sebagai Bima atau Arjuna, ternyata hanyalah Yudhistira yang dungu, yang telah mempertaruhkan segalanya dalam sebuah permainan yang aturannya bahkan tidak saya pahami. Saya hanya bisa berdiri di sini, di pintu belakang sejarah, gemetar, dan terlalu lelah untuk bahkan mengangkat gada.
Kelelahan ini, kelelahan yang meresap hingga ke tulang sumsum ini, membawa saya pada satu pertanyaan terakhir yang paling menakutkan, yang selama ini selalu saya tepis. Konsep “bangsa” ini… “Indonesia” yang kepadanya saya baktikan seumur hidup saya… bukankah ia hanyalah sebuah proyek yang begitu muda? Sebuah mimpi kolektif yang bahkan belum genap berusia seratus tahun—sekejap mata dalam riwayat peradaban. Apakah ia sungguh-sungguh mimpi kita? Lahir dari rahim terdalam jiwa kita? Atau jangan-jangan, ia hanyalah sebuah angan-angan pinjaman dari Barat, sebuah konsep yang kita adopsi dengan tergesa-gesa dalam demam dekolonisasi, yang kini mulai pudar dan retak dimakan oleh kekuatan-kekuatan baru yang bahkan tidak peduli pada batas-batas peta?
Saya tidak lagi punya jawaban. Saya tidak lagi punya proposal kebijakan. Saya tidak lagi punya cetak biru untuk masa depan. Semua energi saya telah habis untuk mempertahankan sebuah benteng yang mungkin, sejak awal, dibangun di atas tanah yang salah.
Yang tersisa hanyalah rasa lelah yang teramat sangat. Lelah.
Tinggalkan Balasan