Potensi yang Terhambat dan Harapan dari Ruang Debat yang Terbuka
Sajiman Cokrowinarto
9/13/20252 min read
Setiap kali saya menelaah perkembangan sinema kita, saya selalu melakukannya dengan dua kacamata: sebagai seorang pengamat yang bangga dan sebagai seorang negarawan yang prihatin. Pagi ini, kebanggaan itu membuncah saat membaca daftar 25 film yang lolos seleksi awal Festival Film Indonesia, serta kabar tentang enam karya anak bangsa lainnya yang akan berlaga di Busan. Ini adalah bukti sahih bahwa produktivitas dan kualitas para sineas kita sedang berada di jalur yang benar. Potensi itu nyata, keragaman itu ada.
Namun, kacamata keprihatinan saya pun harus segera saya kenakan saat membaca berita lain yang begitu ironis. Pernyataan seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat bahwa biaya produksi film di beberapa daerah di negara kita sendiri ternyata lebih mahal daripada di New York adalah sebuah anomali yang menyedihkan. Ini bukan lagi sekadar masalah bisnis atau ekonomi. Ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap semangat gotong royong yang seharusnya menjadi fondasi dari setiap upaya pembangunan nasional kita. Sebuah produksi film seharusnya dilihat sebagai sebuah "hajat bersama", sebuah proyek kebangsaan di mana pemerintah daerah, aparat, dan masyarakat bahu-membahu untuk memudahkannya, bukan justru membebaninya demi keuntungan sesaat.
Di tengah keprihatinan ini, saya memberanikan diri untuk menengok ke ruang-ruang diskusi publik yang kini marak di dunia maya, seperti di forum Reddit. Terus terang, sebagai bagian dari generasi yang lebih tua, saya seringkali merasa "tersedak" membaca kelugasan dan keterbukaan tanpa filter di sana. Gaya bahasanya yang kadang kasar dan kritiknya yang tanpa basa-basi adalah sebuah dunia yang terasa asing. Namun, setelah kegugupan awal itu reda, perasaan yang muncul justru adalah sebuah kelegaan yang mendalam.
Saya berbahagia. Karena di balik semua riuh rendah itu, saya menemukan bahwa anak-anak muda kita ternyata "tidak hanya manggut-manggut". Mereka peduli, mereka mempertanyakan, dan mereka berdebat dengan sengit tentang identitas sinema kita. Keterusterangan mereka, yang mungkin sering disalahpahami sebagai "tidak sopan", justru mengingatkan saya pada darah tradisional kita sendiri—tradisi blakasuta dalam budaya Jawa, sebuah kelugasan yang jujur, yang sayangnya sering tertutup oleh citra kesopanan yang hipokrit. Saya lega mengetahui bahwa semangat kritis itu hidup dan bernapas, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Maka, jalan keluarnya menjadi semakin jelas bagi saya. Potensi dari para seniman sudah terbukti ada. Aspirasi dan daya kritis dari masyarakat pun sudah terdengar. Yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah gerakan "gotong royong" nasional yang terstruktur, yang tidak hanya datang dari atas, tetapi juga diawasi dari bawah. Panggilan ini ditujukan kepada pemerintah untuk menciptakan ekosistem yang mendukung, dan secara bersamaan, kita harus merangkul suara-suara kritis dari generasi baru ini. Merekalah yang akan menjadi "penjaga api", memastikan bahwa proyek kebangsaan yang kita bangun bersama ini tidak akan pernah melenceng dari relnya.