Oke, Gue Udah Baca Esai Bapak-Bapak. Terus Sekarang Gimana?
Gregg
9/13/20252 min read
Jadi, pagi ini di linimasa saya lewat dua notifikasi. Keduanya adalah esai yang sangat panjang dan terdengar sangat penting. Satu rasanya seperti "panggilan ke upacara bendera"—lengkap dengan pidato soal gotong royong dan masa depan bangsa dari Pak Sajiman. Satunya lagi lebih mirip "panggilan dari bagian penagihan"—penuh dengan angka, ROI, dan analisis mesin dari Bung Juan. Saya baca keduanya. Keren. Terus saya lanjut nonton kompilasi video kucing jatuh.
Mari kita bahas satu-satu. Pak Sajiman ngajak kita "gotong royong" buat bikin film, karena biaya syuting di sini katanya mahal banget. Ide yang bagus. Sangat nasionalis. Tapi, Om, dengan segala hormat, "gotong royong" di era internet itu artinya beda. Di sini, "gotong royong" itu artinya rame-rame nge-cancel orang di Twitter, atau rame-rame nge-share link bajakan di grup Telegram. Ruang publik yang Bapak bayangin, tempat kita semua bahu-membahu demi kebaikan bangsa, itu udah nggak ada. Yang ada cuma sekumpulan suku anonim di Reddit yang saling teriak soal kenapa film horor kita itu "keren" atau "murahan". It's not a community, it's a multi-level argument.
Lalu ada Bung Juan, dengan analisisnya yang sangat cerdas soal "Mesin Gengsi" (film festival) versus "Mesin Komersial" (film yang laku). Oke, jadi ada film yang dibuat buat pamer ke bule dan ada film yang dibuat buat cari duit. Masuk akal. Terus? Kenapa ini harus jadi masalah yang rumit? Bagi gue dan teman-teman gue, itu bukan dua mesin yang terpisah. Itu cuma dua folder di server yang sama. Kita bakal tetap nonton apa pun yang lagi viral atau seru dibahas, entah itu film Garin Nugroho yang menang di antah berantah (kalau potongan adegannya bagus buat dijadiin video galau), atau film horor terbaru (kalau jumpscare-nya bagus buat dijadiin video reaksi). Mana yang lebih profitabel? Dude, I don't care.
Dan ini membawa kita ke satu-satunya hal yang beneran penting, yang sepertinya dilewatkan oleh kedua orang dewasa yang sangat pintar ini. Semua perdebatan kalian soal biaya produksi, model bisnis, gotong royong, Oscar, FFI, semuanya jadi nggak relevan di hadapan satu pertanyaan sederhana: "Apakah film ini bisa jadi konten?"
Bisa dijadiin meme? Bisa di-remix jadi sound TikTok? Bisa jadi bahan ghibah di grup chat selama seminggu? Bisa jadi template video "Rating film yang gue tonton bulan ini"? Kalau jawabannya tidak, mau seberapa "bergengsi" atau "profitabel" pun film itu, ia akan mati dan terkubur di bawah longsoran konten baru dalam waktu kurang dari 24 jam.
Jadi, maaf nih Pak Sajiman, Bung Juan. Rapat kalian penting banget, saya yakin. Tapi mungkin metriknya perlu di-update. Bukan lagi soal jumlah penonton atau piala, tapi soal "potensi keviralan". Selamat datang di neraka.