NJIRR, JOKES BAPAK-BAPAK GALAU, GAK CUKUP SINGLE, MALAH TRIPLE.

Pagi ini di grup chat internal “Indonesia Regale Collective”, masuk tiga notifikasi esai baru. Tiga-tiganya sangat panjang, sangat cerdas, dan terdengar sangat penting. Satu dari Pak Sajiman, rasanya seperti panggilan upacara bendera. Satu dari Bung Juan, lebih mirip tagihan kartu kredit yang dirinci. Dan satu lagi dari Mas Salman, yang seperti biasa, terdengar seperti ramalan kiamat. Saya disuruh membacanya. Dan sekarang kepala saya sakit.

Mari kita mulai dengan Pak Sajiman. Ia bicara soal “gotong royong nasional” untuk mengatasi masalah industri. Ide yang bagus, sangat luhur. Tapi, Om, dengan segala hormat, di dunia tempat saya hidup, “gotong royong” itu artinya sekelompok akun anonim berkolaborasi untuk nge-doxxing orang, atau rame-rame nge-share link bajakan di grup Telegram. Konsep “masyarakat” yang solid dan penuh semangat kebangsaan yang Bapak bayangkan itu indah, tapi itu ada di buku pelajaran PPKn, bukan di linimasa Twitter saya. Yang ada di sini hanyalah sekumpulan individu yang berteriak ke dalam gawai masing-masing.

Lalu ada Bung Juan, dengan analisis mesinnya yang sangat detail. Keren, lo udah bedah semuanya. Lo udah misahin mana “Mesin Gengsi” yang boros dan mana “Mesin Komersial” yang profit. Lo udah ngitung ROI-nya. Terus? Apa gunanya semua data itu buat gue? Gue sebagai penonton, yang bayar tiket buat mesin itu tetap jalan, nggak peduli sama neraca keuangannya. Gue cuma peduli satu hal: apakah produknya seru atau nggak. Analisis lo itu mungkin berguna buat para investor di ruang rapat mereka yang ber-AC, tapi sama sekali tidak relevan bagi kami yang sedang mengantre popcorn di lobi.

Dan yang paling bikin saya muak, Mas Salman. Selamat, Anda menang. Anda benar. Semuanya busuk. Semuanya adalah aparatus. Semuanya adalah konspirasi hegemoni. Kapitalisme itu jahat. Kami tahu. Gue lahir dan tumbuh besar di tengah-tengah reruntuhan sistem yang lo dekonstruksi itu. Terus, setelah lo berhasil meyakinkan semua orang kalau rumah kita sedang terbakar, apa rencana lo selanjutnya? Nggak ada. Lo cuma berdiri di seberang jalan sambil merokok, menatap apinya dengan kepuasan intelektual, sambil berkata, “Kan, sudah kubilang.” Terima kasih atas peringatannya, tapi kami butuh air, bukan analisis kebakaran.

Dan inilah intinya. Jangan sebut generasi kami apatis. Itu adalah diagnosis yang malas. Kami tidak apatis. Kami hanya lelah. Sangat, sangat lelah. Lelah hidup di dunia yang kalian, para generasi sebelumnya, bangun dengan segala niat baik dan kesalahan fatalnya, dan sekarang kalian sendiri sibuk berdebat tentang cara memperbaikinya, sementara kami yang harus tinggal di dalamnya.

Karena yang kami lihat adalah tiga generasi pemikir yang terperangkap di dalam penjara ciptaan mereka sendiri. Satu generasi, seperti Sajiman, terperangkap dalam penjara nostalgia, terus-menerus berbicara tentang betapa luhurnya masa lalu dan mencoba menerapkan aturannya yang usang ke dunia yang sudah tidak ada lagi. Generasi satunya lagi, seperti Juan, terperangkap dalam penjara optimalisasi, begitu sibuk mencoba memperbaiki, memonetisasi, dan membuat setiap jengkal dari penjara ini menjadi lebih efisien, tanpa pernah bertanya apakah penjara ini memang layak untuk ditinggali. Dan generasi terakhir, yang paling “keren”, seperti Salman, terperangkap dalam penjara dekonstruksi, menemukan kepuasan tertinggi dalam membuktikan betapa busuknya setiap batu bata di dinding penjara ini, tanpa pernah menawarkan satu pun gambar cetak biru untuk sebuah rumah baru.

Jadi, maaf. Maaf kalau di tengah-tengah kalian yang sibuk bernostalgia, berbisnis, dan berteori, kami hanya ingin mencari sedikit hiburan. Kami hanya ingin menonton sesuatu—apa pun itu, film horor, komedi, meme, atau live streaming NPC—yang bisa membuat kami lupa sejenak bahwa kami diwarisi sebuah rumah yang sedang terbakar, yang arsiteknya, mekaniknya, dan ahli demolisinya semuanya masih sibuk berdebat sengit di ruang tamu.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *