Menu Hari Ini: Tiga Revolusi di Atas Meja, Sementara di Luar Hujan Horor
DOSIS HARIANSEPTEMBERJAMES DEKKER PERESTROIKA
James Dekker Perestroika
9/12/20252 min read
Selamat pagi. Pagi ini kedai beraroma hujan dan kertas koran. Di luar, gerimis bulan September membasahi poster-poster film baru yang baru ditempel semalam—wajah-wajah ketakutan dari Maryam dan Dia Bukan Ibu, judul provokatif seperti "Jangan Panggil Mama Kafir". Sebuah pemandangan bisnis yang berjalan seperti biasa, sibuk, pragmatis, dan sedikit basah.
Namun, di dalam kehangatan kedai, suasananya sama sekali berbeda. Tiga anggota "Indonesia Regale Collective" telah menyulap meja bundar di sudut menjadi ruang perang mereka. Mereka mengabaikan hujan horor di luar, dan justru sedang menatap tajam ke tengah meja, seolah di sana terhidang secangkir kopi gaib yang ampasnya bisa meramal masa depan—secangkir kopi yang diracik dari berita-berita tentang reformasi FFI, Hari Komedi, dan kedatangan AI. Dan dari ampas yang sama, mereka melihat tiga revolusi yang sama sekali berbeda.
Bung Juan, seperti biasa, duduk tegak, buku catatannya terbuka di sebelah cangkir espresonya yang sudah setengah kosong. Ia berbicara dengan kecepatan seorang pialang saham, menunjuk-nunjuk artikel Screen Daily seolah itu adalah laporan pasar modal. Baginya, FFI dan Hari Komedi hanyalah riak-riak masa lalu. Revolusi yang sesungguhnya ada pada efisiensi: formula konten lokal yang profitabel dan kedatangan AI yang akan membuat semuanya lebih murah. Ia telah selesai dengan masa lalu; ia sedang menyusun proposal bisnis untuk masa depan di atas serbet kertas.
Di seberangnya, Mas Salman bersandar di kursinya, membiarkan kopinya mendingin. Ia mendengarkan Juan dengan senyum pahit yang nyaris tak terlihat. Baginya, revolusi yang dibicarakan Juan hanyalah bagian dari revolusi lain yang lebih besar dan lebih mengerikan: revolusi penjinakan. Ia melihat FFI dan Hari Komedi bukan sebagai riak, melainkan sebagai alat-alat penjinakan. Dan AI, baginya, adalah puncak dari revolusi itu—sebuah mesin yang akan mengotomatisasi produksi kepatuhan ideologis.
Dan terakhir, Gregg, yang duduk sedikit menjauh dari meja, earphone menggantung di lehernya. Ia men-scroll ponselnya dengan ibu jari yang bergerak secepat kilat, sesekali mendengus geli pada perdebatan serius di sebelahnya. Baginya, revolusi yang nyata adalah kemenangan telak konten digital atas semua perdebatan ini. Ia mendukung AI bukan karena alasan bisnis atau ideologis, tetapi karena AI sejalan dengan satu-satunya prinsip suci yang ia yakini: jalan pintas.
Yang paling terasa pagi ini adalah kursi kosong di kepala meja, tempat Pak Sajiman biasanya duduk. Sang negarawan absen dari perdebatan tentang revolusi. Mungkin ia sedang di luar sana, menatap poster-poster basah itu, dan melihatnya bukan sebagai produk pasar, melainkan sebagai cerminan karakter bangsa. Ketidakhadirannya membuat ruang perang ini kehilangan suara "tatanan", meninggalkan kita hanya dengan tiga versi kekacauan yang berbeda: kekacauan pasar, kekacauan ideologi, dan kekacauan digital.
Pesanan Anda siap. Disajikan dengan suara gemericik hujan di jendela dan gemuruh tiga revolusi yang saling bertabrakan di dalam kehangatan kedai.
Cicipi semuanya. Tentukan sendiri revolusi mana yang akan Anda ikuti.