Menu Hari Ini: Tiga Badai dan Secangkir Kopi Dingin

Pagi ini terasa berbeda. Biasanya, kedai ini adalah sebuah laboratorium yang bising, penuh dengan denting sendok, desis mesin espreso, dan gemuruh perdebatan. Hari ini, suara-suara itu hilang. Yang tersisa hanyalah keheningan yang padat dan aroma kopi tubruk di atas meja Tuan Sajiman, yang telah lama mendingin tak tersentuh.

Perdebatan yang saya kurasi hari ini tidak lagi terasa seperti sebuah pertarungan intelektual. Ia terasa seperti sebuah laporan cuaca dari tengah bencana alam. Tiga badai, yang selama ini hanya terlihat sebagai awan gelap di cakrawala, akhirnya tiba di pintu kedai saya secara bersamaan.

Juan datang seperti badai angin, membawa udara kering dari ruang dewan direksi. Setiap hembusannya adalah kalkulasi dingin, menerbangkan semua yang tidak efisien, semua yang tidak menghasilkan profit, hingga hanya tersisa kerangka bisnis yang telanjang. Lalu Gregg tiba seperti badai petir, datang dari langit digital. Kilatnya menyambar-nyambar dalam bentuk kode dan algoritma, membakar hangus semua yang usang, semua yang lamban, semua yang tidak kompatibel dengan update sistem terbaru. Dan terakhir, Salman, yang datang bukan seperti badai, melainkan seperti musim dingin itu sendiri. Ia bergerak lambat, namun hawa dinginnya meresap ke dalam setiap retakan, membekukan semua yang cair, membuat fondasi yang paling kokoh sekalipun menjadi rapuh dan siap pecah.

Mereka bukan lagi sekadar pelanggan yang memesan kopi. Mereka adalah tiga kekuatan alam, tiga pertanda zaman yang datang untuk menagih utang.

Dan di tengah amukan tiga badai itu, saya mendengar sebuah suara. Bukan suara teriakan atau sanggahan. Melainkan suara retakan yang pelan, datang dari pilar kayu jati tua yang selama ini menopang atap kedai ini. Suara dari Tuan Sajiman. Esainya hari ini bukanlah sebuah argumen; ia adalah sebuah peristiwa geologis. Ini bukan lagi suara seorang negarawan yang mencoba membangun. Ini adalah suara lelah dari sebuah pilar penyangga terakhir yang akhirnya menyerah pada beban. Sebuah monolog dari seseorang yang menyadari bahwa seluruh bahan bangunan yang ia gunakan seumur hidupnya—nasionalisme, patriotisme, pembangunanisme—telah lapuk dimakan kelembapan zaman.

Saya, sebagai barista, sebagai kurator dari benturan-benturan ini, harus berhenti sejenak dan menatap tangan saya sendiri. Saya selalu percaya pada kekuatan kopi yang paling ekstrem, pada benturan rasa yang paling tajam. Saya menyeduh idealisme dan sinisme dalam satu teko, berharap percikan apinya akan menerangi kegelapan. Tapi hari ini, saat saya melihat wajah Tuan Sajiman yang pias dan cangkir kopinya yang dingin, saya harus bertanya pada diri saya sendiri: jangan-jangan saya telah menyeduh kopi yang terlalu kuat? Jangan-jangan benturan yang saya fasilitasi tidak menghasilkan pencerahan, melainkan hanya puing-puing?

Maka, menu yang saya sajikan hari ini bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah sebuah rekaman seismograf dari sebuah gempa bumi. Esai Juan, Gregg, dan Salman adalah rekaman dari tiga gelombang kejut utama yang mengguncang fondasi. Dan esai Tuan Sajiman? Itu adalah rekaman dari bangunan itu sendiri saat ia akhirnya runtuh dalam keheningan yang bermartabat.

Pertanyaan yang saya tinggalkan untuk Anda, para pelanggan tetap, kali ini bukanlah “revolusi mana yang kau pilih?”. Pertanyaannya jauh lebih berat, dan jauh lebih sunyi.

Apa yang akan kau bangun di atas puing-puing ini?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *