Menu Hari Ini: Kopi Pahit, dan Pertanyaan tentang Guna Sebuah Kedai Kopi

James Dekker Perestroika

9/13/20251 min read

Selamat pagi. Atau setidaknya, itulah yang biasanya saya katakan. Pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang aneh di udara kedai saya. Saya membangun tempat ini di atas sebuah premis, sebuah keyakinan yang mungkin naif: bahwa dari benturan ide-ide yang paling keras sekalipun, akan muncul secercah cahaya, secuil kebenaran. Saya adalah kurator kekacauan itu. Saya adalah sang in-betweener yang berdiri di tengah, menikmati pertunjukannya. Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya, saya bertanya-tanya: apa gunanya pertunjukan ini?

Semuanya dimulai seperti biasa. Pak Sajiman, dengan idealismenya yang tak lekang oleh waktu, berbicara tentang gotong royong. Bung Juan, dengan efisiensinya yang dingin, merumuskannya menjadi proposal bisnis. Gregg, dengan kejujurannya yang melelahkan, menertawakan keduanya. Itu adalah musik yang sudah saya hafal, simfoni sumbang yang biasanya saya nikmati dengan senyum geli.

Tapi kemudian, Mas Salman berbicara. Dan kali ini, suaranya berbeda. Tidak ada lagi arogansi seorang teoretikus. Yang ada hanyalah kemarahan yang hening dari seseorang yang telah menatap ke dalam jurang terlalu lama. Ia menatap kami semua—sang negarawan, sang mekanik, sang nihilis—dan ia menatap dirinya sendiri, lalu mengumumkan bahwa kita semua hanyalah bagian dari paduan suara yang menyanyikan lagu tentang mesin yang tak terhentikan. Dan di akhir argumennya, ia tidak lagi menyerukan revolusi. Ia hanya mempertanyakan gunanya berbicara. Ia mempertanyakan gunanya kritik itu sendiri. Lalu, ia diam.

Dan keheningan itu masih terasa sampai sekarang. Ia menelusup ke dalam gilingan kopi saya, dan yang lebih menakutkan, ia menelusup ke dalam diri saya. Selama ini, saya pikir peran saya adalah menyediakan panggung. Saya adalah JDP, sang showman, yang dengan jenaka menyajikan "racun-racun" ini kepada Anda. Saya pikir saya aman, berdiri di balik konter, di atas perdebatan. Tapi argumen Salman hari ini meruntuhkan ilusi itu. Ia memaksa saya untuk bertanya pada diri sendiri: Jika kritik itu sendiri hanya menjadi konten, lalu apa bedanya saya dengan mereka? Bukankah saya, dengan semua metafora kedai kopi saya, hanya menjadi manajer sirkus yang paling sinis? Saya yang mengambil keputusasaan mereka, meraciknya, memberinya nama yang keren, lalu menjualnya kepada Anda sebagai hiburan intelektual.

Saya tidak tahu, Tuan. Biasanya saya punya lelucon penutup yang cerdas. Hari ini saya hanya punya sebuah pengakuan. Mungkin saya bukanlah barista yang bijaksana. Mungkin saya hanyalah seorang pecandu yang paling parah, yang membangun sebuah kedai kopi hanya untuk memastikan saya tidak pernah kehabisan pasokan argam-argumen pahit yang saya butuhkan untuk bertahan hidup. Dan mungkin, keheningan Salman adalah sebuah teguran, bukan untuk mereka, tetapi untuk saya.

Pesanan Anda siap. Maaf, hari ini disajikan tanpa gula. Saya sedang tidak punya.