Selamat pagi. Pagi ini kedai saya terasa sangat sunyi, meskipun keempat meja di sudut itu baru saja penuh. Empat anggota “The Indonesian Regale” telah datang dan pergi, meninggalkan jejak argumen mereka yang masih terasa di udara seperti ampas kopi yang pekat. Mereka semua datang untuk membahas menu berita yang sama—sebuah potret industri yang bangga sekaligus cemas—dan mereka pulang setelah menyajikan empat dunia yang sama sekali berbeda.
Pertama datanglah Pak Sajiman, dengan optimismenya yang tak pernah padam. Ia menatap daftar film yang lolos ke festival-festival internasional dan melihat sebuah bangsa yang sedang mekar. Namun, ia juga melihat biaya produksi yang mahal di dalam negeri dan mendesah tentang lunturnya semangat gotong royong. Ia meninggalkan secangkir teh hangat yang diminum setengah, penuh dengan harapan dan sedikit kekecewaan.
Lalu Bung Juan masuk, dengan langkah cepat seorang pria yang tidak punya waktu untuk disia-siakan. Ia membedah semua berita itu dengan pisau bedah seorang akuntan, memisahkan “Mesin Gengsi” yang boros dari “Mesin Komersial” yang profitabel. Ia tidak melihat prestasi budaya atau kegagalan moral; ia hanya melihat aset yang salah kelola dan potensi pendapatan yang terbuang. Ia meninggalkan cangkir espreso yang kosong melompong, sama pragmatisnya dengan argumennya.
Kemudian, dari sudut yang lebih gelap, Mas Salman berbicara. Dan kali ini, suaranya dipenuhi oleh kemarahan yang lelah. Ia mendengarkan harapan Sajiman dan kalkulasi Juan, lalu membakarnya habis-habisan. Baginya, gotong royong dan profitabilitas hanyalah ilusi yang berbeda dari sistem yang sama-sama busuk. Ia berbicara tentang kesia-siaan kritik, tentang dirinya yang hanya menjadi kaset rusak. Ia tidak memesan apa pun hari ini. Ia hanya datang untuk mengumumkan bahwa kedai ini mungkin sudah tidak ada gunanya lagi.
Dan akhirnya, Gregg. Ia datang bukan untuk berdebat, tetapi untuk mengeluh. Ia mendengarkan ketiga seniornya, dan untuk pertama kalinya, kejengkelannya terasa lebih nyata daripada apatismenya. Ia menuduh mereka semua—sang nostalgis, sang optimis, sang anarkis—telah menjebak generasinya di tengah perdebatan tak berujung mereka. Ia tidak meminta solusi; ia hanya meminta untuk dibiarkan menonton dengan tenang.
Dan kini saya berdiri di sini, di tengah keheningan yang mereka tinggalkan. Empat cangkir, empat dunia. Sang negarawan, sang mekanik, sang nabi, dan sang nihilis. Semuanya benar, dan semuanya salah. Dan saya, sang barista? Biasanya saya punya lelucon penutup. Hari ini, saya rasa saya hanya akan menyeduh satu cangkir kopi lagi untuk diri saya sendiri. Mungkin keheningan, sesekali, adalah jawaban yang paling jujur.
Pesanan Anda siap. Maaf, hari ini menunya sedikit membingungkan.
Tinggalkan Balasan