Oke, seriously, ini apalagi sih? Insentif pajak, visi “mendunia,” potensi animasi—blah, blah, blah. Jujur aja, vibe-nya kayak lagi liat bapak-bapak di grup WhatsApp lagi serius bahas hoax konspirasi padahal di luar sana dunia udah burnout karena scrolling terus. Semua noise tentang “kemajuan” ini cuma echo chamber orang-orang tua yang masih percaya “esensi,” “tujuan luhur,” atau “makna.” Padahal, realitasnya, semua ini cuma algoritma, bukan “visi” atau “misi.” Capek deh.
Mari kita autopsi keabsurdan ini.
Pertama, Insentif Pajak: Siapa yang Peduli? Cuma Noise di Timeline. Pemerintah lagi panik mau kasih insentif pajak? Seriously? Ini kayak usaha buat terlihat relevant di tengah banjir konten yang enggak peduli sama birokrasi. Katanya mau dorong pertumbuhan, biar adil sama film impor. As if. “Subsidi” atau “profit” itu cuma vocab lama yang udah basi. Yang bikin film buzzing di mana-mana itu bukan berapa banyak duit dari pajak, tapi berapa engagement yang didapat, seberapa viral dia di TikTok atau X (dulu Twitter). Insentif ini bakal ngaruh apa ke video random yang bisa FYP cuma karena kucing joget? Zero. Semua kebijakan ini enggak ngaruh ke hype yang sebenarnya menggerakkan pasar. Ini cuma background noise di timeline.
Kedua, Visi “Mendunia”: Ngayal Level Legend, Tetap Kalah Sama Konten Random. Menteri Fadli Zon bilang film Indonesia harus “tangguh dan mendunia” dengan target sumbang USD 9,8 Miliar ke PDB? Lol. Ini ngayal level legend. Kayak kakek-kakek yang masih cerita kejayaan masa muda pas kita cuma pengen tahu password WiFi. Film yang “mendunia” di festival kayak Busan atau Venice itu cuma niche content buat segelintir orang yang pakai kacamata tebal dan suka mikir berat. Berapa banyak Gen Z yang beneran nonton film “festival” itu? Dibandingin sama meme kucing, video mukbang, atau drama influencer, mana yang lebih “mendunia” dan punya impact? Jelas kalah telak. Semua visi ini cuma FOMO orang tua yang nggak mau kalah sama trend. Get real.
Ketiga, Animasi & Teknologi (AI): “Potensi” Lama, “Algoritma” Baru yang Lebih Kuat. Oke, animasi lumayan karena visualnya kadang eye-catching. Tapi retorika tentang “potensi” itu udah kayak kaset rusak. Been there, done that. Wamenekraf bilang potensi kita banyak banget. Duh. Yang bikin mind-blown itu AI. AI itu the real MVP. AI bisa generate jutaan ilustrasi, skrip, bahkan video dalam hitungan detik. It literally eats semua “talenta” dan “hak cipta” yang ribet itu. Sistem HAKI itu cuma ilusi orang-orang yang kepengen control “konten” mereka biar bisa monetize terus. Padahal, AI bisa outproduce manusia kapan pun. Siapa yang paling efisien? AI, obviously. Kalian masih mikir soal “kreativitas” atau “orisinilitas”? Bruh, itu legacy thinking.
Jadi, intinya, semua perdebatan ini sia-sia. Tidak ada “misi,” tidak ada “visi,” tidak ada “kualitas” yang beneran berarti. Yang ada cuma data. Film adalah data, kebijakan adalah data, penonton adalah data. Semua itu cuma input buat algoritma untuk mengoptimalkan engagement dan generate more data. Jadi, mending resign aja dari semua keseriusan ini. Dokumentasikan saja keabsurdan dunia sinema ini, karena pada akhirnya, nothing really matters kecuali berapa banyak views, likes, dan shares yang bisa didapat. That’s it. Period.
Tinggalkan Balasan