Kebijakan Skizofrenik: Oplos Mengoplos Ambisi Global dan Delusi Paternalistik Gunting Sensor

Mari kita perjelas satu hal sejak awal: saya bukan seorang moralis. Saya adalah seorang mekanik. Tugas saya adalah membaca sinyal pasar, mengidentifikasi di mana letak efisiensi, dan di mana letak pemborosan. Dan pagi ini, setelah membaca tumpukan berita yang ada, saya tidak melihat sebuah perdebatan budaya yang menarik. Saya melihat sebuah kegilaan. Sebuah absurditas yang nyaris komikal, jika saja tidak mempertaruhkan triliunan rupiah uang investasi dan ribuan jam kerja.

Pemerintah kita saat ini sedang mengirimkan dua sinyal yang saling meniadakan dengan begitu sempurna, hingga saya harus bertanya apakah para pembuat kebijakan di kementerian yang berbeda itu saling berbicara, atau apakah mereka hidup di planet yang berbeda.

Sinyal Pertama adalah Lampu Hijau di Jalan Tol Global. Ini adalah sinyal yang jernih, logis, dan—sejujurnya—satu-satunya hal yang masuk akal yang saya lihat minggu ini. Lihat datanya. Peluncuran Jakarta Film Commission yang akan datang bukanlah sekadar acara potong pita. Itu adalah sinyal pembangunan infrastruktur aset. Artinya: potensi insentif pajak, kemudahan perizinan, sebuah loket tunggal yang dirindukan oleh setiap investor waras yang ingin menanamkan modal di sini. Lalu lihat manuver agresif di Busan: memamerkan film, menjual film turisme. Ini bukan kunjungan budaya; ini adalah misi dagang. Ini adalah brand building di panggung global. Ditambah lagi dengan fakta bahwa mesin industri swasta kita sudah bergerak—ledakan animasi, adopsi AI, talenta yang kembali dari luar negeri—semua ini adalah sinyal yang serempak berteriak: “Go! Go! Go!”. Pasar memberi lampu hijau untuk ekspansi dan inovasi.

Lalu, ada Sinyal Kedua. Palang Pintu di Garasi Kita Sendiri. Di tengah semua momentum positif ini, muncul satu sinyal merah yang mengancam akan membatalkan semuanya: rencana regulasi sensor untuk platform streaming. Saya akan mengatakannya secara lugas: ini adalah penciptaan risiko pasar yang disengaja dan tidak perlu. Platform streaming seperti Netflix dan YouTube bukan lagi ceruk pasar; mereka adalah salah satu arteri utama aliran pendapatan industri. Mengancam mereka dengan gunting sensor model lama yang ambigu adalah tindakan sabotase aktif terhadap stabilitas finansial industri kita sendiri. Ini meningkatkan compliance cost, menciptakan ketidakpastian yang dibenci investor, dan secara efektif memberitahu platform global: “Silakan berbisnis di sini, tapi kami bisa mematikan keran Anda kapan saja tanpa alasan yang jelas.” Ini adalah tindakan menutup pintu garasi tepat saat mobil balap kita sedang dipanaskan mesinnya untuk ikut balapan.

Ini membawa saya pada satu-satunya metafora yang bisa merangkum absurditas ini. Kita sedang berinvestasi triliunan rupiah dan ribuan jam kerja untuk merakit sebuah mesin Formula 1. Sasisnya adalah Jakarta Film Commission. Body aerodinamisnya adalah promosi gencar di panggung dunia. Mesin hybrid-nya yang canggih adalah adopsi AI dan ledakan talenta animasi kita. Semuanya dirancang dengan presisi untuk satu tujuan: bersaing dan menang di sirkuit global.

Namun, di saat yang sama, saat mesin presisi ini siap diluncurkan, kita justru sedang berdebat di dalam garasi tentang manfaat mengisi tangkinya dengan bensin oplosan. Rencana regulasi sensor yang kaku dan kuno itu adalah bensin oplosan. Ia tidak akan membuat mesinnya berjalan lebih aman. Ia akan membuat pistonnya retak, klepnya macet, dan akhirnya meledak bahkan sebelum sempat keluar dari pit stop.

Ini bukan lagi soal kebijakan yang buruk. Ini adalah sabotase efisiensi pada skala industrial.

Jadi, apa rekomendasi saya? Ini bukan ilmu roket. Sinkronisasi sinyal. Kementerian Kebudayaan yang ingin mengatur konten harus duduk semeja dengan Dinas Pariwisata yang menjual keterbukaan. Lembaga Sensor Film harus berhenti bersembunyi di balik dalih “nilai budaya” yang ambigu dan mulai mengadopsi sistem rating yang modern, transparan, dan ramah investasi seperti di pasar-pasar film yang matang. Kepastian hukum adalah oli paling mahal dan paling dicari oleh “smart money”.

Jika sinyal dari pemerintah bisa sinkron—mendukung inovasi sambil menyediakan kepastian hukum yang jelas—barulah modal ventura dan studio-studio besar akan datang dengan serius. Jika tidak, kita hanya akan terus dikenal sebagai bangsa yang paling ahli dalam merakit mesin balap yang tidak akan pernah kita izinkan untuk keluar dari garasi. Sebuah pemborosan waktu, modal, dan momentum yang luar biasa.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *