Narasi tentang “kebangkitan” dan “kemajuan” industri film nasional kini menggema di mana-mana. Dari insentif pajak yang dijanjikan, visi “mendunia” seorang menteri kebudayaan, hingga capaian film animasi lokal. Semua ini disajikan sebagai bukti otentik bahwa kita sedang menuju masa depan yang gemilang. Namun, bagi saya, ini semua hanyalah ilusi optik, sebuah fatamorgana yang sengaja diciptakan oleh aparatus kekuasaan untuk mengokohkan dominasinya. Sistem ini, dengan segala fondasi busuknya yang patriarkal, feodal, dan hipokrit secara religius, tidak bisa diperbaiki dari dalam. Segala upaya “reformasi” hanyalah komodifikasi kritik atau kooptasi potensi revolusioner. Sebagaimana Michel Foucault mengingatkan kita, “kemajuan” semacam ini seringkali adalah bentuk lain dari disiplin dan hukuman.
Mari kita kupas tujuannya.
Pertama, Insentif Pajak: Kooptasi & Penjinakan Potensi Radikal. Kebijakan insentif pajak yang diusung Direktorat Jenderal Pajak bukanlah sebuah anugerah, melainkan bentuk kooptasi terhadap energi kreatif yang seharusnya dapat menantang status quo. Negara, sebagai representasi aparatus kekuasaan, tidak memberikan insentif ini tanpa pamrih. Ia memberikannya untuk mengarahkan produksi film agar sesuai dengan agenda hegemonik mereka: nasionalisme yang steril, moralitas versi negara yang konservatif, dan stabilitas semu yang menutupi kontradiksi sosial. Ini adalah sebuah strategi penjinakan, memastikan agar film tidak menjadi alat kritik radikal yang membongkar fondasi sistem, melainkan pelayan narasi kekuasaan yang mengafirmasi legitimasi mereka. Guy Debord pernah berujar, semuanya akan menjadi “tontonan” yang aman, termasuk kritik itu sendiri, yang pada akhirnya hanya menjadi komoditas lain di pasar ide.
Kedua, Visi “Mendunia”: Fetisisasi Pasar Global & Imperialisme Budaya Terselubung. Ambisi “tangguh dan mendunia” yang didengungkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon adalah fetisisasi pasar global yang berbahaya. Ia secara halus menuntut agar sinema kita mengikis keunikan dan daya kritiknya demi diterima oleh selera dominan, seringkali adalah selera kurator festival Barat atau pasar kapitalis. “Mendunia” dalam konteks ini berarti mengemas penderitaan lokal sebagai komoditas eksotis untuk konsumsi global, atau memproduksi cerita yang aman dan universal agar mudah dijual. Target PDB USD 9,8 miliar pada tahun 2027 bukanlah bentuk pemberdayaan, melainkan penjajahan ekonomi atas ekspresi kreatif, mengubah seni menjadi sekadar angka dalam laporan keuangan korporat. Ini bukan “diplomasi budaya”; ini adalah penyeragaman budaya di bawah panji kapital global, sebuah bentuk imperialisme terselubung yang merayakan asimilasi.
Ketiga, Animasi & Teknologi (AI): Reproduksi Algoritmik Hegemoni & Ancaman Otentisitas. Perkembangan film animasi dan pemanfaatan AI, yang katanya membuka peluang besar, sebenarnya adalah alat yang sangat efisien untuk mereproduksi hegemoni melalui medium visual yang paling digemari massa. AI, dalam konteks ini, bukan alat bantu netral, melainkan algoritma kekuasaan yang dapat memproduksi narasi “yang diterima” secara massal, mensterilkan ide-ide yang menantang, dan membunuh otentisitas serta keragaman pemikiran. Narasi tentang “cerita yang dekat dengan budaya lokal” menjadi ironis jika yang dimaksud adalah sensibilitas yang telah dijinakkan atau narasi yang disterilkan dari konflik kelas, opresi gender, dan ketimpangan struktural. Bahkan masalah HAKI yang lemah bukanlah sebuah anomali; itu adalah fitur dari sistem yang memang dirancang untuk mengeksploitasi kerja kreatif demi akumulasi kapital.
Pada akhirnya, semua “kemajuan” dan “dukungan” yang disajikan ini adalah upaya aparatus untuk memperpanjang napas sistem yang busuk ini. Mereka tidak berniat mengubah, melainkan hanya memodifikasi permukaannya agar tetap terlihat relevan dan progresif. Satu-satunya tindakan moral yang tersisa bagi kita adalah dekonstruksi total terhadap narasi-narasi palsu ini. Kita harus secara radikal mengungkap bagaimana kekuasaan beroperasi, bagaimana kritik dikomodifikasi, dan bagaimana potensi revolusioner dijinakkan. Jangan pernah percaya pada janji reformasi; sistem ini, pada hakikatnya, tidak bisa diperbaiki dari dalam. Jalan satu-satunya adalah membongkar fondasinya.
Tinggalkan Balasan