Efisiensi Kapital vs. Ilusi Optimisme: Membedah Arah Industri Film Nasional

Optimisme. Kata itu terdengar di mana-mana, dari ruang rapat Kementerian Keuangan hingga panggung Festival Film Indonesia. Insentif pajak, target kontribusi PDB USD 9,8 miliar, visi film “mendunia,” hingga geliat industri animasi. Sekilas, ini adalah melodi indah tentang kebangkitan. Namun, bagi saya, seorang pragmatis yang terbiasa membaca sirkuit data dan indikator kinerja, narasi ini lebih mirip ilusi optik ketimbang cetak biru operasional yang solid. Ini adalah potensi yang belum teroptimalkan, karena mekanisme pasar dan efisiensi kapital di sektor ini masih jauh dari kata ideal.

Mari kita bongkar satu per satu.

Pertama, Insentif Pajak: Stimulus atau Sekadar Palliative? Direktorat Jenderal Pajak sedang merancang skema khusus untuk industri film nasional. Tujuannya bagus: dorong pertumbuhan, perbaiki daya saing. Tapi pertanyaannya, apakah ini sebuah solusi struktural atau hanya palliative yang meredakan gejala tanpa menyentuh akar masalah? Tanpa mekanisme kontrol yang jelas dan pengukuran ROI (Return on Investment) yang ketat, insentif ini berisiko menjadi subsidi tanpa dampak signifikan. Apa key performance indicators yang akan digunakan? Apakah fokusnya pada peningkatan jumlah produksi yang belum tentu berkualitas atau pada profitabilitas dan daya saing global yang riil? Kita harus belajar dari pasar yang sudah matang: insentif pajak bekerja jika ia secara presisi menargetkan peningkatan efisiensi dan inovasi, bukan sekadar memanjakan.

Kedua, Visi “Mendunia”: Target Tanpa Peta Jalan Finansial? Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan semangat memproyeksikan kontribusi USD 9,8 miliar ke PDB nasional pada tahun 2027 dan ambisi film Indonesia yang “tangguh dan mendunia.” Narasi aspiratif ini memang menggugah. Namun, di balik angka besar tersebut, kita perlu bertanya: Bagaimana rantai nilai industri ini akan dioptimalkan untuk mencapai target itu? Apakah sudah ada investasi konkret pada infrastruktur industri yang mendukung, seperti studio pascaproduksi berteknologi tinggi, sistem distribusi internasional yang efisien, atau platform agregasi konten yang komprehensif? “Menembus festival bergengsi” adalah pencapaian brand image yang baik, tetapi profitabilitas global adalah medan pertempuran yang berbeda, membutuhkan strategi bisnis yang dingin dan berbasis data, bukan sekadar tepuk tangan. Film bukan cuma karya seni, ia adalah produk yang bersaing di pasar global.

Ketiga, Potensi Animasi: Aset Tersembunyi dengan Risiko Besar. Industri animasi kita, dengan kisah sukses “Jumbo” yang menembus 17 negara, jelas menunjukkan bahwa kita punya talenta sebagai aset berharga. Namun, aset ini masih terjerat risiko operasional dan finansial yang signifikan: pendanaan yang terbatas, akses teknologi yang belum merata, dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang seringkali lemah. Bagaimana kita mengkapitalisasi potensi voice-over dan animator ini menjadi mesin profit yang berkelanjutan? Ini membutuhkan lebih dari sekadar apresiasi. Ini membutuhkan ekosistem pendukung yang kuat: dari ketersediaan venture capital untuk startup animasi, perlindungan HAKI yang robust yang mampu melawan sengketa, hingga standarisasi kontrak yang adil. Tantangan AI juga harus dilihat sebagai peluang untuk efisiensi, bukan sekadar ancaman legal.

Singkatnya, optimisme pemerintah adalah komoditas yang murah. Yang mahal adalah eksekusi yang presisi dan pengukuran kinerja yang objektif. Industri film adalah sebuah mesin kompleks. Tanpa bahan bakar yang efisien, pelumasan yang tepat melalui kebijakan fiskal yang terukur, dan perawatan berkala yang berdasarkan diagnosis data yang akurat, mesin ini akan mogok di tengah jalan. Saatnya kita beralih dari narasi besar ke data mikro, dari visi abstrak ke strategi konkret yang terukur. Hanya dengan begitu, industri film nasional bisa menjadi “tangguh dan mendunia” secara finansial, bukan hanya di atas kertas.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *