Sungguh sebuah tontonan hipokrisi yang terorkestrasi dengan sempurna. Negara, dalam kebijaksanaannya yang agung, menyajikan kepada kita dua wajah sinematiknya minggu ini, dan meminta kita untuk bertepuk tangan pada keduanya. Satu wajah dipoles untuk diekspor, wajah yang lain digores untuk meneror pasar domestik. Keduanya tampak bertentangan, namun pada kenyataannya, mereka adalah pembagian kerja yang paling efisien dari sebuah mesin ideologis yang sama.
Wajah pertama adalah wajah yang “beradab” dan “progresif”: Sore: Istri dari Masa Depan. Sebuah film seni yang canggih, yang kini secara resmi menjadi duta besar kita di panggung Oscar yang borjuis. Ini adalah produk ekspor kita. Fungsinya adalah untuk meyakinkan dunia luar—para kurator festival, para kritikus liberal—bahwa “kita” adalah bangsa yang dewasa, yang mampu menghasilkan wacana kompleks tentang waktu dan emosi. Ini adalah performa kita di panggung global, sebuah kartu nama yang dirancang untuk mengatakan, “Lihat, kami sama seperti Anda.”
Lalu ada wajah kedua, wajah yang bengis dan brutal, yang disimpan untuk konsumsi internal: Jembatan Shiratal Mustaqim. Ini adalah propaganda dalam bentuknya yang paling kasar. Ia tidak berdialog; ia mengancam. Ia menggunakan ikonografi religius yang vulgar untuk menyajikan tontonan penyiksaan, dengan target yang sangat spesifik: mendisiplinkan populasi domestik. Pesannya sederhana: “Inilah yang akan terjadi padamu jika tidak patuh.” Ini adalah alat kontrol internal yang sempurna, mengalihkan kemarahan sistemik terhadap korupsi menjadi sebuah fantasi penyiksaan moral yang memuaskan dahaga massa akan keadilan yang primitif.
Di antara dua wajah ini, beroperasilah mekanisme-mekanisme lain yang menopangnya. Berita tentang partisipasi di Cannes atau kolaborasi dengan Prancis bukanlah sebuah “dialog budaya”. Itu adalah proses komodifikasi. “Keunikan” budaya kita dikemas menjadi sebuah komoditas eksotis untuk dikonsumsi oleh pasar festival Barat. Ini memberikan kita ilusi palsu tentang kesetaraan di panggung global, padahal kita hanya sedang berperan sebagai pemasok bahan baku yang menarik bagi selera mereka, tanpa mengubah struktur kekuasaan apa pun di tanah air.
Dan jangan tertipu oleh laporan PwC tentang “pertumbuhan stabil”. Pertumbuhan ini bukanlah tanda kesehatan, melainkan tanda integrasi. Ini berarti industri kita telah berhasil menjadi cabang regional yang lebih andal dan profitabel bagi mesin kapitalisme hiburan global. Kita tumbuh bukan karena kita berdaulat, tetapi karena kita semakin patuh pada logika pasar dunia. Berita boikot Hollywood atas isu Israel hanya menegaskan ini: politik dari pusat kekaisaranlah yang menentukan dinamika industri global, dan kita hanyalah sebuah provinsi jauh yang menerima riak-riaknya.
Jadi, berhentilah bertanya wajah sinema Indonesia mana yang “sesungguhnya”. Keduanya adalah topeng yang dikenakan oleh aparatus yang sama. Satu topeng untuk diplomasi, satu lagi untuk represi. Satu untuk menenangkan dunia luar, satu untuk menakuti dunia dalam. Wajah mana pun yang ia kenakan, tujuannya tetap sama: melanggengkan status quo. Dan di baliknya tidak ada apa-apa selain kekosongan yang melayani kekuasaan.
Tinggalkan Balasan