Dua Sinyal di Tengah Kebisingan: Di Mana Seharusnya Uang Pintar Ditempatkan?
DOSIS HARIANSEPTEMBERJUAN PANGEMANANN
Juan Pangemanann
9/12/20252 min read
Setiap pasar yang sehat selalu mengirimkan sinyal. Tugas seorang pebisnis yang baik bukanlah mendengarkan semua kebisingan, melainkan mengidentifikasi sinyal-sinyal yang paling penting—sinyal yang menunjukkan di mana letak profit di masa lalu dan di mana letak pertumbuhan di masa depan. Minggu ini, di tengah kebisingan seremonial, pasar film kita mengirimkan dua sinyal yang sangat jernih.
Sinyal pertama datang dari artikel Screen Daily, yang pada dasarnya adalah sebuah audit terhadap model bisnis kita yang paling sukses. Formulanya sederhana dan telah terbukti: konten lokal yang kuat + jendela teatrikal yang panjang. Ini adalah mesin yang membawa kita keluar dari era pandemi. Ini adalah sinyal yang melihat ke belakang, memberi tahu kita: "Mesin ini masih berfungsi. Terus rawat, beri oli, dan jangan coba--coba mengubah resepnya secara drastis." Ini adalah strategi untuk menjaga cash flow tetap sehat.
Sinyal kedua datang dari arah yang sama sekali berbeda, dari sebuah pengumuman korporat yang mungkin dilewatkan banyak orang: pendirian anak usaha IRSX yang fokus pada AI dan digital twins. Ini adalah sinyal yang melihat ke depan. Ia memberi tahu kita: "Cara kita membuat film—proses produksi yang mahal dan tidak efisien—akan segera usang." Ini adalah taruhan pada disrupsi, sebuah investasi pada mesin baru yang belum terbukti tetapi berpotensi mengubah seluruh lanskap industri.
Di antara dua sinyal yang jernih ini, ada banyak sekali kebisingan. Lihatlah berita tentang FFI yang merombak skema penjuriannya atau pemerintah yang meresmikan Hari Komedi Nasional. Apakah ini langkah yang buruk? Tentu tidak. Tapi dari sudut pandang bisnis, ini adalah indikator yang terlambat (lagging indicator). Mereka adalah institusi formal yang akhirnya mengakui realitas pasar yang sudah terjadi sejak lama—bahwa komedi adalah genre yang sangat kuat dan profitabel. Ini adalah langkah birokratis yang baik, tetapi bukan di sini letak inovasi atau pertumbuhan masa depan. Ini adalah validasi, bukan visi.
Mari kita bedah sinyal kedua itu lebih dalam. Berita tentang IRSX dan AI seringkali ditanggapi dengan ketakutan romantis tentang "mesin yang menggantikan seniman". Ini adalah cara berpikir yang salah dan tidak produktif. Dari sudut pandang saya, AI bukanlah ancaman bagi kreativitas; ia adalah alat optimalisasi aset dan efisiensi biaya yang paling logis. AI untuk membantu visualisasi pra-produksi, digital twins untuk menciptakan lokasi syuting virtual yang bisa digunakan berulang kali—ini semua adalah tentang memangkas biaya, mempercepat alur kerja, dan pada akhirnya, meningkatkan ROI (Return on Investment). Ini bukan soal seni, ini soal matematika. Sebuah langkah yang seharusnya sudah dieksplorasi industri kita sejak lama.
Jadi, ini membawa kita pada satu pertanyaan investasi yang paling mendasar. Jika Anda adalah seorang pemodal ventura dengan dana seratus miliar rupiah, di mana Anda akan menempatkan uang pintar Anda? Pada komite-komite festival yang sedang sibuk mereformasi diri? Pada perayaan-perayaan seremonial? Atau pada dua mesin pertumbuhan yang paling nyata?
Bagi saya, jawabannya sudah sangat jelas. Alokasikan 80% modal Anda untuk menyempurnakan dan mereplikasi mesin yang sudah terbukti profitabel (konten lokal, jendela panjang). Lalu, alokasikan sisa 20% untuk berinvestasi pada teknologi disrupsi (AI) yang akan menjadi mesin baru kita sepuluh tahun dari sekarang. Sisanya? Itu semua hanyalah kebisingan.